PLN Tanggung Beban Tambahan Rp 14 T
Cari Skema Harga Batu Bara untuk Pembangkit
JAKARTA – Skema penentuan harga batu bara domestik bagi pembangkit listrik masih digodok. Pembahasan tersebut sangat penting. Sebab, salah satu poin yang menjadi perhatian adalah tidak berdampak pada kenaikan tarif dasar listrik (TDL).
Beberapa skema yang dipertimbangkan, antara lain, cost plus margin atau berdasar biaya pokok penyediaan listrik dan harga batu bara acuan (HBA) diskon. Menurut Direktur Pengadaan Strategis PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Supangkat Iwan Santoso, pihaknya masih membahas sejumlah kemungkinan agar bisa menguntungkan berbagai pihak, yakni pemerintah, pengusaha batu bara, PLN, dan masyarakat.
”Mana yang fair. Kami juga harus paham apakah indeks ICP (Indonesian crude price), cost plus margin, atau HBA diskon,” ujarnya di Kementerian ESDM kemarin (5/2). Menurut dia, kenaikan HBA memang membuat nilai pembelian batu bara untuk pembangkit membengkak.
Dia menjelaskan, tahun lalu perseroan harus menanggung beban tambahan Rp 14 triliun akibat kenaikan HBA. ”Tahun lalu RKAP kan (harga batu bara) USD 63 per metrik ton. Ketika menjadi USD 80-an per metrik ton itulah, dampaknya Rp 14 triliun. Tetapi, kami tidak bisa minta ganti ini,” terang Iwan.
Pada triwulan III tahun lalu, beban keuangan PLN sebesar Rp 14,7 triliun, meningkat jika dibandingkan dengan periode sama pada 2016 yang mencapai Rp 13,9 triliun. Sepanjang tahun lalu memang ada kenaikan HBA cukup signifikan. Pada awal 2017 HBA masih di angka USD 86,23 per metrik ton. Pada Desember 2017, HBA melonjak menjadi USD 94,04 per metrik ton. Trennya pun tetap merangkak naik pada awal 2018. HBA Januari 2018 sebesar USD 95,54 per metrik ton.
PLN meminta agar harga batu bara untuk DMO (domestic market obligation) bagi pembangkit listrik bisa USD 60 per metrik ton. ’’Ya itu sebenarnya menurut PLN reasonable begitu saja. Jadi, penambang masih hidup, kami juga sustain,” tuturnya.
Dia menjelaskan, selama ini tarif listrik yang dihasilkan PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) relatif lebih murah daripada bahan bakar lainnya. Sekitar Rp 650 per kWh. ’’BBM hitung saja ya. Kalau 1 liter, misalnya, harganya Rp 6.450, 1 liter jadi 4 kWh, jadi kira-kira kan Rp 1.600-an. Itu baru energinya,” jelas Iwan.
Di sisi lain, penerapan DMO yang lebih rendah bisa berakibat pada tergerusnya PNBP (penerimaan negara bukan pajak) sektor minerba. ”Pajak juga kan dari PPh. Royalti juga dari harga. Jadi, so far sih kami mencoba sebisanya memenuhi harapan-harapan pemerintah, termasuk yang hari ini (kemarin, Red) dibicarakan Pak Menteri,” ujar Direktur Utama PT Adaro Energy Garibaldi Thohir.
Dia menjelaskan, kontribusi perusahaan tambang terhadap negara cukup besar. Yang berbentuk pajak sebesar 45 persen dan royalti kepada pemerintah 13,5 persen. Meski begitu, pihaknya tidak akan memberatkan PLN dalam menentukan harga batu bara.
Kementerian ESDM pada tahun ini menargetkan, penerimaan PNBP sektor minerba sebesar Rp 32,1 triliun. Angka tersebut turun jika dibandingkan dengan target penerimaan PNBP sektor minerba tahun lalu Rp 32,4 triliun. Adapun, total capaian PNBP sektor minerba pada 2017 mencapai Rp 40,6 triliun.
Sementara itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menolak berkomentar tentang pertemuan antara pengusaha batu bara, PLN, dan pemerintah. Dia menegaskan, penentuan harga batu bara untuk domestik masih dibahas. ’’Belum ada keputusan. Masih dibahas,’’ tandas Bambang.
(vir/c7/fal)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: