>

Pertumbuhan Konsumsi Listrik Rendah, Revisi Realisasi Proyek Pembangkit 35 Ribu Mw

Pertumbuhan Konsumsi Listrik Rendah, Revisi Realisasi Proyek Pembangkit 35 Ribu Mw

JAKARTA – Konsumsi listrik di Indonesia pada 2017 hanya mampu tumbuh 3,57 persen. Angka tersebut jauh lebih rendah daripada proyeksi pertumbuhan permintaan listrik dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2017–2026, yakni mencapai 7,8 persen pada 2017.

Direktur Perencanaan Korporat PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Syofvi F. Roekman menyatakan, pertumbuhan permintaan listrik dalam tiga tahun terakhir tidak terlalu bagus. Rata-rata mencapai 4 persen. Berbeda dengan lima hingga sepuluh tahun lalu dengan pertumbuhan permintaan mencapai 6–7 persen.

Bahkan, pada 2012, pertumbuhan permintaan listrik bisa mencapai angka 11 persen. ’’Ini kami lihat apakah industri itu beralih di mana industri kurang. Konsumsi rumah tangga juga tidak sebaik lima tahun lalu,’’ ujar Syofvi.

Dia mengungkapkan, pasokan PLN telah siap jika permintaan listrik ke depan tumbuh sesuai dengan RUPTL. Termasuk untuk kebutuhan mobil listrik. ’’Tahun 2040 mulai dicanangkan tidak ada lagi mobil yang menggunakan fuel. Kami sekarang berpikir meningkatkan demand karena power plant sesuai dengan schedule. Tinggal demand-nya,’’ jelasnya.

Syofvi menjelaskan, saat ini memang ada reserve margin 30 persen pada sistem Jawa-Bali yang tercapai. ’’Di Sumatera mungkin belum tercapai 30 persen. Tetapi, antara supply dan demand di seluruh sistem besar kami sudah tercapai,’’ ucapnya. Dengan reserve margin tersebut, lanjut dia, tidak ada lagi defisit.

Untuk menyesuaikan permintaan dengan pasokan listrik, beberapa proyek pembangkit ditahan lebih dulu. Misalnya, adanya perubahan kapasitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dari sebelumnya 78 ribu mw menjadi 56 ribu mw. Proyek pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT) dari sebelumnya 21 ribu mw menjadi 14 ribu mw.

Sementara itu, untuk perkembangan program 35 ribu mw, hingga akhir 2019, Kementerian ESDM memproyeksikan total pembangkit yang beroperasi mencapai 20 ribu mw. Selebihnya beroperasi pada 2024–2025 seiring pertumbuhan kebutuhan listrik hingga tahun tersebut. ’’Tambahan kapasitas sebesar itu cukup untuk menjawab peningkatan kebutuhan listrik pada 2019,’’ ujar Menteri ESDM Ignasius Jonan.

Alasan program 35 ribu mw harus selesai pada 2019 dibuat dengan asumsi pertumbuhan ekonomi nasional di atas 7 persen. Padahal, realisasi pertumbuhan ekonomi beberapa tahun terakhir dan ke depan diperkirakan mencapai 5 persen. Dengan begitu, peningkatan tambahan kebutuhan listrik hingga 2019 berkisar 20 ribu mw.

Adapun progres pembangunan proyek pembangkit 35 ribu mw mencapai 30–40 persen. Perinciannya, estimasi masa pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) memakan waktu lima hingga enam tahun. Pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) pun bisa lima hingga enam tahun. Kemudian, pembangkit listrik di atas 600 mw mencapai enam tahun serta di bawah 600 mw dan 300 mw membutuhkan waktu tiga tahun. Selanjutnya, pembangunan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) hanya membutuhkan waktu delapan bulan hingga setahun.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyatakan, pertumbuhan listrik nasional memang menurun sejak 2012. ’’Dari pertumbuhan yang tadinya mencapai 9–10 persen per tahun, kami lihat sejak 2013 turun menjadi 6 persen,’’ paparnya. Dengan demikian, sejak 2013–2017, rata-rata pertumbuhan listrik nasional hanya mencapai 4 persen.

Fabby menjelaskan, hal itu disebabkan pertumbuhan ekonomi yang masih di bawah asumsi dalam RUPTL. ’’Karena asumsi pertumbuhan ekonomi 7 persen, tetapi ternyata tidak terjadi pertumbuhan tersebut. Pada 2017, pertumbuhan listrik berada di bawah 4 persen dan itu tidak terlalu aneh karena pertumbuhan ekonomi hanya 5 persen,’’ ungkapnya.

(vir/c22/fal)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: