Kepemimpinan Hikmat dan Bijaksana: Belajar dari KDM dan Tugu Biawak
Mochammad Farisi--
oleh: Assist Prof. Mochammad Faris
DALAM hiruk pikuk demokrasi prosedural, kita sering lupa bahwa inti dari kekuasaan bukanlah siapa yang menang, tetapi bagaimana ia memimpin. Di tengah krisis kepercayaan terhadap elite politik, sosok seperti Kang Dedi Mulyadi (KDM) menghadirkan harapan akan wajah kepemimpinan baru bukan sekadar populer, tetapi hikmat dan bijaksana.
BACA JUGA:Semakin Menarik! Arus Modal ke Bitcoin Sudah Tembus Rp669 Triliun
KDM: Pemimpin yang Membumi dan Melangit
Viral di berbagai platform media sosial, gaya kepemimpinan KDM bukan hanya menarik karena gaya bahasanya dan cara kerjanya yang sat-set, gerak cepat, serta aksi sosialnya yang menyentuh. Ia membangun citra sebagai pemimpin yang welas asih, rajin turun ke masyarakat, problem solver sejati, dan transparan dalam anggaran.
Lebih dari itu,
BACA JUGA:MU Selangkah Lagi Ke Final Liga Europa Usai Menang Telak 3-0 Atas Athletic Club
KDM punya rekam jejak panjang: dari Wakil Bupati, Bupati, anggota DPR RI, hingga tokoh kebudayaan yang meresapi filsafat Sunda. Dalam diri KDM, kita menyaksikan integrasi antara kebijaksanaan lokal dan kapasitas manajerial modern. (ini otokritik terhadap kepala daerah di Jambi yang dapat gelar adat tetapi tidak paham filosofi adatnya).
Salah satu terobosan pentingnya ialah di bidang keuangan daerah, dimana Ia melakukan efisiensi dan perubahan postur anggaran APBD: 70% untuk rakyat dan hanya 30% untuk belanja pegawai. Ini bukan angka, tapi wujud nyata dari filosofi "pemerintah harus hadir untuk rakyat, bukan untuk dirinya sendiri."
BACA JUGA:Ramalan Zodiak Jumat 2 Mei 2025 untuk Libra dan Scorpio
Tugu 50 Juta dan Skandal Mental Koruptif
Sejalan dengan efisiensi dan efektifitas anggaran yang di terapkan KDM, publik dikejutkan oleh viralnya tugu biawak di Wonosobo yang hanya menelan anggaran Rp50 juta namun hasilnya apik dan artistik. Ini menampar keras proyek-proyek tugu miliaran rupiah di banyak daerah yang hasilnya memalukan, miskin rasa, tanpa estetika, dan sarat dugaan mark-up. Apa yang salah?
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:



