Kepemimpinan Hikmat dan Bijaksana: Belajar dari KDM dan Tugu Biawak

Kepemimpinan Hikmat dan Bijaksana: Belajar dari KDM dan Tugu Biawak

Mochammad Farisi--

 

Kembali ke Pancasila: Menghidupkan volksgesit Sila Keempat

Sila Keempat Pancasila berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Frasa ini bukan slogan kosong. Ia menuntut bahwa demokrasi Indonesia bukan sekadar hasil pemilu, tetapi buah dari proses deliberatif, penuh kebijaksanaan, dan berakar pada kearifan lokal.

 

Kepemimpinan seperti KDM, dalam banyak hal, merepresentasikan aktualisasi sila keempat ini. Ia tidak hanya mewakili, tetapi memimpin dengan kebijaksanaan yang hidup. Ia bukan pemimpin yang memerintah dari atas, tetapi membangun dari bawah. Ia tidak hanya memilih efisiensi anggaran, tapi juga merakyatkan anggaran.

 

Waktunya Mengubah Arah: Demokrasi Butuh Jiwa, Bukan Hanya Suara

Demokrasi tidak boleh berhenti pada suara mayoritas. Ia harus naik kelas: menjadi demokrasi yang etis, substantif, dan berorientasi pada kebajikan. Maka, sudah saatnya asas kepemimpinan yang hikmat dan bijaksana dijadikan prinsip hukum, bukan sekadar nilai moral. Baik dalam Undang-Undang Partai Politik, maupun dalam etika politik nasional.

 

Tugu biawak Rp50 juta dan gaya kepemimpinan KDM mengajarkan dua hal: Pertama, kualitas tidak selalu datang dari mahalnya biaya, tetapi dari benarnya niat dan bijaknya pemimpin. Kedua, ketulusan, akal sehat, dan keberpihakan pada rakyat kecil jauh lebih penting daripada citra dan kemewahan 

 

Mari kita bangun demokrasi yang tidak hanya prosedural, tapi benar-benar menghadirkan pemimpin yang bisa dipercaya. Sudah saatnya kita memilih dan membentuk pemimpin yang bukan hanya tahu jalan, tapi juga pernah berjalan di jalan yang sama dengan rakyatnya. (*)

 

 

* Penulis adalah Dosen Hukum Internasional, Peneliti Hak Politik dan Kepemimpinan Etis, Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan (Pusakademia)

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: