Kepemimpinan Hikmat dan Bijaksana: Belajar dari KDM dan Tugu Biawak

Kepemimpinan Hikmat dan Bijaksana: Belajar dari KDM dan Tugu Biawak

Mochammad Farisi--

Yang salah bukan sekadar desain, melainkan mentalitas dan moralitas pengguna anggaran. Seharusnya APBD digunakan sebagai alat transformasi sosial, namun sebaliknya, banyak pejabat daerah masih menjadikan APBD sebagai “ladang belanja pribadi”, seperti kasus SPPD fiktif DPRD Prov. Jambi, pengadaan barang dan jasa, serta mark-up proyek, Di sini, kita melihat pentingnya pemimpin yang tidak hanya demokratis secara prosedural, tapi bijaksana secara etis.

BACA JUGA:JUMAT BERKAH! Harga BBM Se Indonesia Turun 100-250/Liter, Ini Harga Baru Pertamax-Pertalite di SPBU 2 Mei 2025

Kepemimpinan yang Menjiwai Derita Rakyat

Meskipun tidak absolut, sejarah memperlihatkan bahwa pemimpin yang berasal dari bawah, dari rakyat kecil yang pernah mengalami kesusahan, bekerja keras sejak muda, dan bergelut langsung dengan realitas hidup rakyat, umumnya akan lebih menjiwai penderitaan masyarakat saat memimpin. Mereka memimpin bukan karena ambisi, tapi karena panggilan nurani.

 

KDM adalah contoh nyata. Latar belakangnya yang sederhana membuat ia tidak menjadikan jabatan sebagai tujuan, tetapi sebagai sarana pelayanan. Ia tahu bagaimana rasanya hidup susah, sehingga kebijakannya tidak elitis. Ia bukan pemimpin dari menara gading, tetapi dari jalanan, dari ladang, dari rumah-rumah rakyat.

 

Asas Kepemimpinan Hikmat dan Bijaksana

Gagasan ini bukan baru. Plato (427-347 SM) dalam The Republic menyebut pemimpin sejati sebagai philosopher-king—raja filsuf, bukan sekadar politisi. Aristoteles (384-322 SM) menekankan phronesis—kebijaksanaan praktis, bukan sekadar teknokrasi. Thomas Aquinas (1225-1274 M) dalam Summa Theologiae menegaskan bahwa kekuasaan tanpa moral adalah kekerasan legal. 

 

Dalam Islam, Para mufasir abad (700-1300 M) seperti: Ibrahim Basyumi mengartikan hikmah sebagai kemampuan mengendalikan nafsu perbuatan tercela menjadi perilaku terpuji; Ibnu Manzu'r memaknainya sebagai ketelitian dalam ilmu dan amal sehingga mampu menghindari kezaliman; Malik bin Anas menyebutnya “pemahaman yang mendalam terhadap agama Allah serta mengikuti ajarannya”; Ibnu Mas'ud mendefinisikan sebagai ilmu tentang halal dan haram, kebenaran dalam ucapan dan tindakan (Qs. an-Nahl 16); dan Rasyid Ridla mengartikan iman yang kokoh mengarahkan perbuatan sesuai kebenaran. Intinya, pemimpin harus memiliki tingkat ketaqwaan yang tinggi, bertindak dengan menggunakan hati nurani yang adil, jujur, dan takut kepada Allah SWT.

 

Konfusius (551-479 SM) mengajarkan kepemimpinan dengan keteladanan moral (de), Confucius mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki ren (kebaikan hati) dan zhi (kebijaksanaan) untuk menjadi teladan moral. Dalam The Analects, Confucius mengatakan: “Pemimpin yang bijak adalah dia yang mampu menciptakan harmoni dalam rakyatnya, bukan dengan kekerasan, tetapi dengan teladan moralnya”.

 

Di Jepang prinsip kebijaksanaan dikenal dengan konsep Toku, dimana kebajikan mengarahkan seseorang mengejar kebaikan bersama dan keunggulan moral sebagai cara hidup. Di India konsep ini dikenal dengan istilah Yukta, dimana kebijaksaan berarti perbuatan yang ‘tepat’ atau ‘pantas’ dilakukan. Misalnya, pemimpin politik percaya bahwa tujuan bernegara bukan mencari kekayaan pribadi tetapi melayani dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka ia akan berintegritas dan tidak akan serakah. 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: