Anak Anak Nipah
Anak Anak Nipah--
“Makan di sini saja jambunya" Pak siga tersenyum menggoda seraya memberikan piring plastik hijau kecil berisi kecap manis dicampur garam kasar dan potongan-potongan cabe rawit. Sepertinya dia tahu isi tas kami. Memang, ransel tidak sempurna tertutup, karena panik. Dan mungkin ada yang tercecer di jalan.
Ridwan membuka tas, mengeluarkan 6 jambu bol merah. Mencuci dan membelah jadi empat bagian untuk setiap buahnya. Tidak ada suara yang terucap, kami menikmati potongan jambu bol merah dicocol kecap campur garam dan rawit. Aku memandangi ridwan sambil tertawa, ”hampir saja tadi kena sebat dahan kelapo“. Dia tertawa sambil mengunyah, sebagian gigi tertutup jambu.
"Itu buku apa, Pak? " Tanya ku kepada Pak Siga. ”oh, itu buku catatan saja. Mau lihat? " Dia menawarkan "Bolehlah Pak" jawabku.
Aku membuka halaman demi halaman buku tulis merk SiDu bersampul kuning. Banyak yang ku tak faham, karena tidak ditulis dengan huruf Latin melainkan aksara Lontara, aksara yang dipakai oleh masyarakat Bugis. Tidak sampai habis ku buka, karena tak faham. Namun, di pertengahan buku ada beberapa Bait yang ditulis dengan menggunakan huruf Latin
“Pakkarawa, U walako Pakkarawa, Magaru way, Pacinnong na Muhammad, Barakka', Barakka', Barakka' ”
Aku membaca agak keras sehingga terdengar oleh Pak Siga.
“itu mantra, kalau mau mencari candring" dia berujar sambil tertawa. candring artinya gebetan, pacar, atau semisalnya. Aku yang baru SD kelas awal merasa lucu dan juga bingung. Emang bisa? Aku membatin. Jika diterjemahkan bebas maknanya mendekati seperti ini:
”Wasilah, aku niatkan hal ini menjadi asbab dan wasilah, keruhnya hati bisa di jernihkan karena kemuliaan Muhammad, Berkah jadi, berkah mumpuni, berkah ampuh. "
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:



