Anak Anak Nipah
Anak Anak Nipah--
Oleh : Habibi Daeng
Malluru, begitulah orang kampung memanggilku. Sebenarnya itu bukanlah nama pemberian orang tua ku. Sewaktu aku masih bayi, kata nenek, nama yang diberikan kepada ku sebenarnya adalah nama seorang yang terkenal jenius. Nama yang keren sebenarnya.
Tapi nama itu tidak pernah terpakai lagi bahkan sampai di kartu tanda pengenal pun yang tertulis adalah Malluru. Malluru bin Pallawa. Malluru berarti Lurus. Mungkin itu sebagai doa. Aku besar di sebuah desa kecil bernama Labuan Jelita. Sebuah desa yang mayoritas penduduknya adalah petani.
Jalan utama desa mengukuti alur sungai yang berliuk-liuk seperti ular sawah. Jalan yang hanya selebar dua meter dan masih setapak. Di beberapa tempat memang sudah di Asmen (aspal semen – istilah warga), namun sudah mulai terkikis karena banjir bandang sudah beberapa kali datang. Untungnya warga desa sudah sangat faham dengan kondisi daerah, sehingga tiang rumah mereka dibuat tinggi- tinggi, layaknya rumah panggung. Mereka pun tidak merasa kekurangan bahan karena kampung ku itu sangat dekat dengan hutan, hanya berjarak tiga jam naik perahu. Sepanjang tepian sungai tumbuh subur pepohonan Rumbia (Nipah) , tempat monyet-monyet berloncatan mencari makan. Air sungai yang mengalir bagaikan sebuah layar tancap yang panjang terbentang karena lumpur sungai yang diaduk- aduk oleh derasnya air terlihat seperti asap hitam dari kebakaran hutan. Warnanya coklat pekat. Warga desa seluruhnya adalah orang perantauan, termasuk aku. Bermacam bahasa biasa aku dengar dalam keseharian ku. Namun, hal itu tidak membuat kami terpisah-pisah.
BACA JUGA:Tinggalkan Surat Wasiat, Pria di Jambi Tewas Gantung Diri Diduga Terlilit Hutang
Di tengah desa ada gudang sekaligus pabrik pengolah gabah. Bangungannya terbuat dari kayu yang usianya sudah melebihi usia pohon kelapa yang tumbuh subur di kanannya. Warna papannya coklat dipenuhi bercak putih seperti kelopak bunga yang layu, jamur yang tumbuh ramai di dinding gudang. Bangunanya memanjang ke sungai, disambung Jerambah dari 3 papan tebal yang selonjoran ke tepian sungai. Ini memudahkan petani yang mengantar gabah melalui sungai untuk diolah menjadi beras.
Memasuki gudang sekaligus pabrik padi dari pintu belakang, mata akan lansung disapa oleh tumpukan gabah dalam karung ukuran 50 Kg yang disusun rapi. Susuna karung gabah menjulang cukup tinggi hingga hampir menyentuh penyangga atap. Tapi itu tidak digabungkan semuanya. Pemisahan karung-karung putih berisi gabah ini berdasarkan nama petani yang punya. Jarak antara tumpukan karung putih susu menyisakan lorong-lorong berliku yang sering aku dan kawan-kawan gunakan sebagai salah satu tempat bersembunyi, jika sedang bermain petak umpet.
BACA JUGA:Buka Jambore Cabang, Bupati M. Syukur Tekankan Pentingnya Pembentukan Karakter
Pada bagian kiri dan kanan gudang, banyak ruangan 2x3 m tanpa pintu, hanya dibatasi 3 susun papan pada bagian depan, untuk memudahkan warga desa yang sedang membongkar gabahnya dari karung atau sebaliknya. Antara susunan karung putih berisi gabah dan ruangan kotak yang berjejer menempel pada dinding kiri dan kanan dinding gudang, hanya disisakan ruang untuk jalan troli besi untuk mengangkut gabah atau beras, selebar 2 papan. Pada bagian depan bangunan ada ruangan dua lantai yang terbuka dan dihubungkan oleh otot-otot besi persegi empat. Di lantai 2, mulut besi seperti corong segi 4 ukuran 80x80 cm adalah tempat menumpahkan gabah yang akan diolah menjadi beras. Di lantai bawah, mesin Yanmar TS 300, dengan tangki minyak warna merah lusuh memutar kencang alat penggiling padi.
Pada bagian depan gudang menjulur pipa ukuran 6 inci sepanjang 10 meter yang selalu memuntahkan kulit gabah. Tumpukan dedak kasar yang kuning menggunung menjadi tempat aku dan anak seusia ku bermain guling-guling dan berbaring. Serasa bermain di tepi pantai saja. Padahal dedak kasar hasil pabrik gabah padi membuat kulit gatal. Tapi hal itu tidak menjadi alasan buatku untuk tidak bermain di sana lagi. Karena selesai bermain aku dan yang lainnya langsung terjun ke sungai, 50 meter arah sebelah kiri gudang, dari jembatan penghubung desa.
BACA JUGA:Resmikan SPPG Nalo Tantan, Wabup H. Khafidh Minta Awasi Limbah dan Kebersihan
Tumpukan gabah yang menggunung itu seringkali menjadi lahan mencari Ringgi'. Orang-orang tua kadang bercanda bahwa dibawah tumpukan gabah kuning itu ada koin emas (Ringgi') sehingga membuat dedak kekuningan warnanya. Dengan polosnya kami menggali kebawah tumpukan dedak, untuk mencari koin emas. Kesadaran bahwa gabah padi sedari awal memang berwarna kuning tertutupi dengan euforia ada koin emas yang tertimbun. Yang benar sebenarnya, dedak ini kami gunakan dalam proses pembuatan arang batok kelapa.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


