Anak Anak Nipah
Anak Anak Nipah--
Pada tanah tempat pembuatan arang akan dilubangi setelah setengah meter, kemudian serum besi yang sudah dibuka penutup atas dan bawahnya ditegakkan dalam lubang tadi. Batok kelapa disusun rapat melingkar hingga sampai setinggi serum, menyisakan sedikit lubat ditengah untuk api dan udara. Gabah difungsikan untuk menutup celah angin di bagian bawah dan atas derum. Ada pula yang mengubur batok kelapa dalam lubang dibakar dan ditutupi tumpukan gabah sehingga membuat hingga semeter lebih dari permukaan jalan. Begitulah muntahan kuning dari gudang kami perlakukan, sebagai tempat mencari harta karun dan membuat bahan bakar arang.
BACA JUGA:Tak Lagi Gelap Gulita, Group PT SAS Pasang 40 Titik Lampu Jalan di Kabupaten Sarolangun
Lima puluh meter sebelau kanan gudang, berdiri kokoh jembatan yg dibuat dari kayu bulian dan tembesi, jenis kayu yang mempunyai daya tahan yang sangat baik, keras dan padat. Di samping kiri dan kanannya dipasang masing-masing tiga lembar papan, semacam kursi panjang dengan sandaran sekaligus pengaman agar tidak terjatuh ke parit yang lebarnya 6 meter. Atapnya segitiga, layaknya rumah di kampung, dengan susunan seng yang mulai berkarat. Dari atas jembatan kadang kala aku dapat melihat gerombolan anak- anak ikan Toman yang bergerombol seperti lebah madu saat air mulai pasang di muara parit, lumpur berwarna abu-abu kekuningan, melandai, mengapit lekukan air pasang yang hanya setengah meter dalamnya. Dari jembatan ini juga sering ku melihat temanku yang lainnya menangkap ikan di sela-sela rerumputan gajah yang menjuntai lebat menutupi bibir parit pada saat air meninggi. Atau melihat sorang kakek mendayung lofi yang penuh dengan kelapa bulat.
BACA JUGA:Dorong Penguatan Reformasi Hukum Nasional, Kakanwil Kemenkum Jambi Ikuti ToF Implementasi KUHP
Di rumah jembatan ini pula aku sering kali diminta oleh pak Leman untuk menyanyikan beberapa buah lagu dangdut. Itu karena di rumah nenek tempatku besar memang tersedia ratusan kaset dangdut dan pop, yang setiap hari selepas mengaji ku putar keras-keras sehingga setiap orang yang lewat dapat mendengarnya, bahkan berjoget kalau bisa.
"Mal, mampir dulu sebentar, duduklah sini" Pak Leman memanggil saya untuk mampir duduk di sebelahnya, padahal aku ingin segera ke rumah Ruli, mau numpang nonton TV.
"Sinilah dulu!" Terdengar suaranya anak meninggi dengan mata sipit yang dipaksakan melotot. Rambutnya yang hitam ikal membungkus wajah yang tirus. Beberapa orang yang berapa di jembatan terlihat menutup senyuman dan suara cekikikan yang keluar dari mulut mereka dengan telapak tangan.
"Coba putarkan kami dulu lagu dangdut!" Ucapnya masih dengan mata yang melotot. Maksudnya adalah menyayikan lagu, seolah-olah aku sebagai Radio Tape berjalan.
"Anu Pak, makkocai kasetnya" Jawabku sambil menunduk tapi sesekali melirik ke ayahnya. Makkocai itu bermakna, seolah-olah aku sabagai Radio Tape tidak bisa memutarkan lagu karena pita kasetnya kucut, sehingga terdengar rusak jika dipaksa tekan tombol play.
"Cepat Ko perbaiki itu kasetnya, kalau tidak aku telan kau bulat-bulat" Pak Leman menimpali.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


