“Manusia dituntut untuk berlapang dada, sudah semestinya saling memaafkan juga mengikhlaskan. Namun, untuk beberapa kasus istemewa, hidup untuk dendam jauh lebih melegakan dibanding hidup tanpa kepastian”
-Riana, ingat anak – anak tidak ada dendam yang berujung kesenangan-
:)
>>>***<<<
Riana, Budi dan Sandra berkumpul di satu titik dengan nafas yang masih sama – sama tersengal, bahkan Sandra yang biasanya sangat memperhatikan penampilannya dari ujung rambut hingga ujung kakinya kini ia biarkan kameja cropnya dengan kusut dan rambut yang lepek, keadaan Budi tidak jauh lebih berantakan, dua kameja teratasnya terbuka, perut buncitnya tampak kembang kempis sebab diajak berlari terlalu jauh, pipi tembamnya merah dengan keringat mengalir di seluruh wajahnya. Sedangkan Riana, ia tidak sempat untuk memastikan bagaimana rupanya, selama heels dan pakaiannya masih layak untuk dipakai, maka tak ada yang perlu ia khawatirkan.
“Lo pada lain kali mikir mulu dong kalo mau nyari titik kumpul, ini gue dari ujung ke ujung ya lari – lari!” Misuh Budi, ia dudukkan dirinya di toilet duduk yang sudah lama tak terpakai. Toilet tua yang berada di pusat Gedung di pinggir ruangan paling sudut menjadi tempat yang mereka pilih untuk mengadakan konferensi penting ala mereka, diantaranya jika ada mantan yang seperti sampah, atau rentenir hutang yang mengancam nyawa. Biasanya Sandra dan Budi lah yang akan menjadi masalahnya, sedangkan Riana hanya mendapat repotnya saja. Namun, untuk pertama kalinya Rianalah yang menjadi satu – satunya alasan mengapa mereka berkumpul ditengah badai drama kehidupan mereka yang tak kunjung usai.
“Diam mulu, ini bukan gue ya, ini si Nana yang ngechat di grup, gue langsung gas ngeng dong, soalnya tu bocah kagak pernah gini.” Jelas Sandra, Budi hanya mengangguk, mengibaskan tangannya tanda ia lelah untuk peduli.
Riana berlutut, matanya berkaca – kaca, wajahnya memerah menahan tangis. Budi dan Sandra merapatkan diri satu sama lain, tidak habis pikir dengan sikap Riana. Mereka mengenal satu sama lain, dan tentu sangat tahu, Riana dan permohonan adalah dua hal yang sangat mustahil untuk dilihat, sebab Riana itu dikenal manusia berdarah dingin, munafik, medusa dari divisi keuangan.
Sandra segera memegang bahu Riana, “Lo kenapa, Na?” Tanya Sandra khawatir, bahkan hingga tak sadar menggigit bibirnya. “Lo korupsi Na? mau dipecat atau apa Na?” Lanjut Sandra.
Budi panik mendengar asumsi Sandra, “Lo beneren korupsi Na? buat apa Na? Lo masih bisa minjam kita – kita dibanding korupsi, Na.” Budi mendekati Riana dan Sandra, berjongkok di samping keduanya, Sandra memeluk Riana erat.
“ARGHH!!” Kesal Riana melepaskan pelukan Sandra, menatap Budi dan Sandra dengan tatapan bengisnya, pertanda ia kesal dan marah. “Memangnya tampang gue ini tampang – tampang koruptor?! Hah?!” Riana berteriak, yang dibalas cengengesan serta wajah tidak berdosa oleh Budi dan Sandra.
“Ya mana kita tau Na,” Ujar Sandra.
“Ya lo sih, lagian tiba – tiba aja. Kagak ada hujan kagak ada badai kagak ada petir, ngirim sos di grup, mana suruh ngumpul toilet tua gini, serem eta teh, kudu wae entar gimana kalo ada setannya?” timpal Budi yang langsung dihadiahi pukulan keras oleh Riana di punggungnya.
“Iya, emang ada!” Jawab Riana, “Lo setannya!” Lanjut Riana, Budi hanya mencebik mendengarnya. Sandra tertawa melihat nasib apes Budi.
“Diem lo cabe – cabean!” Perintah Budi, Sandra tidak menggubris dan terus saja tergelak medengarnya.