“Jangan mau jadi yang biasa – bisa aja, setidaknya satu menjadi istimewa, sebab buka siapa – siapa kamu, cepat juga mereka untuk lupa.”
>>>***<<< “Yan, kenapa lo cuma diam? Keburu diambil yang lain.” Ujar Sandi, mewakilkan Jinan dan Jingan yang juga ingin bicara hal yang sama pada Bian. Tepat lima meter di hadapan mereka, seseorang pria yang begitu gentle tengah menekuk lututnya dihadapan perempuan yang singgah di hati Bian. Keduanya berpandangan begitu lama, memberi atensi satu sama lain, berbicara tanpa kata diantara keduanya. Ada lega juga kecewa, ada rasa juga luka. “Terima,” bisik Bian melalui gerak mulutnya, ia abaikan sahutan Sandi. Fokusnya masih dengan wanita yang pandangannya begitu berantakan, mau Bian selami dan sejauh apapun netra sosok yang ia cintai, tak Bian temukan apa yang ia inginkan ada. Sandi, Jingan dan Jinan hanya diam menyaksikan drama korea dadakan yang terjadi diantara mereka. Hingga akhirnya dengan empat remaja pria yang menyaksikan tersebut, Bian tau ia patah hati kini saat wanita itu mengangguk, harusnya ada yang sangat remuk di dalam jiwanya, Bian tak berbohong rasanya memang remuk namun tak bian pungkiri juga remuk itu beriring lega. Ada rasa yang ia tanam kemudian tumbuh besar setiap saatnya, namun disaat yang sama Bian cabuti dan potong dengan paksa. Membiarkan rasa sakit itu ada hingga ia menjadi terbiasa hidup bersama rasa itu. “Kenapa lo biarin?” kali ini Jinan yang bertanya, pertanyaan yang sama dengan yang Sandi ajukan beberapa jam lalu, “ngapain harus ditahan?” Tanya Bian kembali, “Karena lo cinta!” Jawab mereka kompak. Bian terkekeh, “pernah denger nggak kalimat gini, katanya perempuan itu selalu mencintai dengan cara yang mencintai istimewa, mereka nggak pernah punya batas dalam cinta, karena itu disebut bodoh sekalipun mereka kokoh dalam mempertahankan cinta.” Ujar Bian, “Gua punya cara sendiri untuk mencintai, kalo mereka bisa mencintai tanpa batas, maka gue bisa merelakan tanpa syarat. Sekalipun mereka nggak bahagia nanti dengan pilihan mereka, gue nggak nyia – nyian mereka, pernah gue sediakan tempat, tapi mereka pergi, lalu gue harus apa selain rela?” Tanya Bian mengakhiri kalimatnya, ia ambil permen karet dalam sakunya, ia kunyah dengan keras sebagai pelampiasan, entah ia rasa marah, sakit ataupun lainnya. “Nyambi jadi pujangga cinta ya, yan?” Tanya Jingan iseng, yang langsung dibalas lemparan sepatu oleh Bian. “Oranglagi patah hati itu dihibur bukan bikin niat mau ngubur lo hidup – hidup!” Teriak Bian kesal yang dibalas tawa kompak oleh mereka. Katanya, sakit itu meniadakan, namun mereka lupa, sakit juga menibulkan yang namanya air mata tapi untuk tawa yang nantinya tanpa jeda. (bersambung)