Bagian 8: “Where have you been my whole life?”

Bagian 8: “Where have you been my whole life?”

ilustrasi--

“Kisah yang paling singkat, memberi rasa yang paling sakit, sebab kenangannya sedikit, penyesalannya luar biasa selangit!”

>>>***<<<

Suara jangkrik terdengar nyaring, hembusan angin semilir terdengar pelan diantara lenganganya keheningang. Sudah sejak dua jam lalu Magenta memutuskan untuk memejamkan matanya, menyambangi alam mimpi yang tak kunjung sampai sebab tak bisa tertidur. Malam semakin larut, jarum pendek di jam dinding kamarnya sudah menunjukkan pukul tiga pagi, yang artinya dalam beberapa jam lagi aktivitas kesehariannya akan menghampiri sedang ia tak bisa mengistirahatkan tubuhnya sama sekali.

“Sialan!” Magenta mengumpat, ia menatap kamar kecilnya itu, pandangannya terkunci pada foto seorang remaja laki – laki yang sudah berani – beraninya membuatnya uring – uringan selama seminggu sebab pernyataan perasaan yang aneh di hari sabtu sore itu. Magenta ingin mengumpati bajingan sialan itu yang jelas ialah Ade Juanda ya siapa lagi kalo bukan Jeje. Ia menggeram kesal, tangannya mencengkram figura foto itu erat, “Lo tu peka dikit kenapa sih, Je?! Gua yang diolang – aling brengsek nggak tau lo serius apa bercanda!” Kesal Magenta, kemudian membanting foto itu ke atas kasurnya.

Magenta berdiri di depan cermin seukurun tingginya yang memang sengaja dipasangankan Tok Shos sebab tahu bahwa Magenta sangat suka bercermin sedari kecil. Magenta tidak munafik, ia mengagumi rupanya, kulitnya tidak cerah memang, tubuhnya juga tidak terlalu tinggi, tapi Magenta tetap bersyukur. Insecure adalah hal kesekian yang harus dia lakukan dari banyaknya kegiatan di dunia ini yang bisa ia cobai. Ia tak akan bisa mengendalikan semua orang untuk menerimanya, maka ia yang akan mengendalikan dirinya untuk belajar menerima keputusan orang lain terkait dirinya. Magenta tidak akan pusing – pusing mengurusinya, manusia itu datang dan pergi dan Magenta juga harus terbiasa dengan tingkah serta prilaku yang silih berganti.

Bibir Magenta kering, ia mengoleskan liblam yang tak jauh dari jangkaunnya. Magenta menatap pantulan dirinya, kemudian terkekeh mengingat sematan yang diberikan orang – orang padanya “Si Bisu”. Magenta tidak bisu, ia perempuan yang normal dan sempurna serta lengkap anggota badannya, hanya saja ia terlalu malas mengelurkan banyak tenaga untuk meladeni perkataan orang – orang, sebagain dari mereka memang bijak, tapi hidup mengajari Magenta untuk tidak terlalu murni dalam kebaikan, sebagainnya terlalu bajingan untuk menjadi manusia, sedang Magenta masih memilki Nurani untuk mengikuti kata hatinya terkait yang benar dan salah. Mungkin satu – satunya yang mampu membuat Magenta bicara itu hanya Jeje, si aneh yang ia temui beberapa tahun lalu.

Bagi Magenta, Jeje itu aneh, rambut ikalnya, pakainnya yang seringkali warnanya tidak nyambung satu sama lain, candaanya, tingkah lakunya, Jeje itu asing yang candu bagi Magenta. Ada di sekitar Jeje memang membuatnya merasa asing, tapi tak ada asing yang menyamai kenyamanan Jeje. Cara bicara laki – laki itu memberi sudut pandang baru. Misalnya, saat kedunya tengah berjalan di trotaor dan ada pengendara motor nakal yang lewat, Magenta akan mengumpatinya berbeda dengan Jeje yang hanya meneratawainya.

“Kesalahan yang gitu tuh, nggak boleh ditoleransi. Bahaya tahu!” Kesal Magenta, tak habis pikir dengan reaksi Jeje.

“Iya, Ta. Aduh…lu mah marah – marah mulu!” Balas Jeje, Magenta kesal hingga Jeje mengamit lengannya, mengajaknya untuk berjalan lebih pelan, lebih menepi padahal mereka sudah di trotoar.

“Ta, tau nggak beberapa hal itu nggak boleh selalu dibawa marah – marah, cepat tua tau!” Jeje mengawali kalimatnya. “Pengendara tadi memang salah, yang dia lakuian mungkin bukan buat pertama kalinya. Tapi pernah nggak sih lo berpikir, kalo yang kayak dia itu tuh yang bisa ngajari kita – kita ini untuk belajar lebih taat peraturan, untuk belajar lebih sabar. Juga untuk belajar lebih pengertian.” Lanjut Jeje.

“Maksudnya?” Tanya Magenta bingung.

“Coba lo bayangin kalo dia nggak ada, apa bakal sebanyak itu kendaraan yang tetap berhenti waktu lampu merah.” Jeje menunjuk sekumpulan pengendara yang tengah menunggu lampu lalu lintas berubah warna. Orang – orang itu tentu mengikuti aturan karena tahu bagaimana hasil yang didapatkan jika melanggar. Manusia itu kerap kali belajar jika telah melakukan kesalahan, karena pada dasarnya manusia banyak digerakann oleh rasa penasara. Marah, emosi dan segala rasa yang terbentuk itu hanya menjerumuskan ego untuk membuktikan hal yang sia – sia, dan Jeje ingin Magenta mengerti beberapa kesalahan ada bukan kerena mereka ingin melainkan harus agar manusia lain mampu mengerti dan belajar perihal kesempatan dan sebuah pengharagaan.


Ari Hardianah Harahap--

Magenta tersenyum kecil memgingat, “Je, kalo nggak bisa dimilikin jangan jadi idaman!” Cibir Magenta pelan, matanya menyipit, Magenta tidak bodoh untuk menyadari, kalo dalam hatinya ini nama Jeje menjadi hal istimewa yang ia dambakan untuk waktu yang lama dalam kehidupan. (bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: