Setelah itu saya duduk di badug parit sebelah rumah. Ngobrol dengan warga di sekitar parit.
\"Mana gunung batunya?\"
\"Itu, di belakang rumah puisi itu,\" jawab salah satu dari mereka. Mereka menyebut jarak gunung batu dengan rumah puisi tersebut hanya 20 meter. Rasanya lebih sedikit.
Saya disuguhi buah-buahan hasil pekarangan: rambutan dan kepel. Rambutannya manis. Kepelnya seperti kesemek. Waktu kecil saya tidak pernah mau makan kepel di halaman rumah kakek buyut di pesantren Takeran. Kemarin saya memakannya.
Mata saya pun tertatap pada bibit-bibit pohon buah. Aneka pohon. Dijejer di pinggir jalan. Banyak juga bibit durian.
\"Itu bibit durian apa saja?\"
\"Ada bawor, ada yang tidak berbiji,\" jawab petani itu.
\"Hah? Tidak berbiji?\"
\"Ada. Tapi bijinya kempeng tipis,\" katanya.
\"Berapa harganya?\"
“Bapak ambil saja. Semua. Gak usah bayar,\" pintanya.
Saya pun mengambil empat. Yang tidak berbiji itu. Istri saya lebih cekatan menangkap sinyal. Ia slempitkan sesuatu di sakunya.
\"Apakah hari itu Anda tidak takut?\" tanya saya mengenai hari yang mencekam itu.
“Takut sekali. Saya lari ke bukit,\" jawabnya.