Menurut Kiai Nur, penduduk dukuhnya itu memang mayoritas NU. Ada spanduk besar bergambar pendiri NU KH Hasyim Asy\'ari, di simpang jalan dekat masjid. Tiga hari setelah ke \'\'masjid pro\',\' Gubernur Ganjar datang ke masjid Krajan ini.
Kiai Nur sendiri dulu belajar di Pondok Pesantren Raudlatut Tholabah, di utara Genteng, antara Banyuwangi dan Jember. Demikian juga saudara-saudaranya.
\"Kalau tidak bisa ambil batu dari Wadas, proyek bendungan Bener bisa dapat dari mana?\" tanya saya.
\"Saya dengar yang sudah diteliti amdalnya ada empat lokasi. Jadi ada pilihan lain,\" ujar Kiai Nur.
Ia menceritakan, mempertahankan gunung itu sudah wasiat dari leluhur. \"Sejak zaman Belanda sudah ada niat menambang sesuatu di sini. Entah ada apa di dalamnya,\" ujarnya. \"Kami menolak. Ini sumber kehidupan kami,\" katanya.
Bahkan Kiai Nur juga menyebut soal harga diri. Ini yang saya belum bisa menggali –harga diri seperti apa. Terkait dengan Perang Diponegoro? Yang pengikutnya banyak lari ke sini? Atau terkait dengan kemandirian penduduk desa ini yang tidak bisa disebut miskin?
“Di samping pohon kepel, di sini ada pohon sawo kecik?\" tanya saya soal penanda pengikut Diponegoro.
\"Dulu ada. Sudah mati,\" jawabnya. \"Nama Wadas sendiri berarti wadah satria,\" ujarnya. Di Jawa orang memang pintar memaknai apa saja. Atau memang begitu.
Ashari menyebut Bendungan Bener perlu batu 8,5 juta m3. Tapi cadangan batu di Wadas 40 juta m3. Angka itu juga jadi persoalan. Dengan tafsirnya sendiri-sendiri.
Sambil pulang saya lihat mulai ada yang lalu-lalang di desa ini. Hari sudah siang. Enam wanita terlihat bergerombol di depan sebuah toko.
Mobil saya berhenti di situ. Ada mobil pikap dari arah berlawanan. Mobil itu penuh berisi besek. Salah satu harus berhenti dan minggir.
\"Ibu bisa bikin besek berapa setiap hari?\" tanya saya kepada siapa saja di kumpulan itu.
\"Saya bisa bikin 20 buah,\" ujar seorang wanita. Berarti Rp 35.000/hari. Wanitanya saja.