\"Awas pak, licin,\" ujar Ashadi ketika saya akan menuruni jembatan. Istri saya menunggu di mobil, atau ngobrol dengan Bu Nyai di depan masjid.
Ashadi sudah beberapa hari terakhir tinggal di Wadas. \"Saya memerlukan surat kuasa dari mereka,\" kata Ashadi.
Yang dimaksud \'\'mereka\'\' bukanlah rakyat yang menolak penambangan batu di situ. \"Ini khusus surat kuasa dari yang pernah ditahan, ditekan, dan di...,\" katanya. \"Mungkin hanya 15 orang. Itulah yang masih bisa dilakukan visum. Sudah keburu lewat beberapa hari,\" katanya.
Besok Ashadi ke Jakarta. Ke Mabes Polri. \"Saya akan sampaikan kronologi peristiwa Wadas yang sebenarnya,\" ujar Ashadi.
\"Seberapa tebal laporan itu?\"
“Tipis sekali. Hanya beberapa halaman. Mungkin hanya 4 halaman,\" jawabnya.
\"Seberapa beda dengan laporan kronologi yang dibuat Kiai Imam Aziz dari Tim Gusdurian?\"
“Saya belum membaca laporan Kiai Imam. Tapi ini hanya khusus yang mengalami peristiwa secara fisik,\" jawabnya.
\"Anda juga warga NU?\" tanya saya ke Ashadi.
\"Iya. Saya nunut udut,\" kelakarnya. NU memang biasa dieplesetkan dengan nunut udut (ndompleng ikut merokok) lantaran banyak orang NU yang perokok berat.
Saya terus menelusuri jalan desa ini. Saya lihat banyak yang menjemur irisan bambu ukuran tipis-tipis di teras rumah. Itulah bahan baku untuk membuat besek –kotak terbuat dari anyaman bambu.
Hampir semua wanita di Desa Wadas jadi perajin besek. Bahan baku melimpah: bambu apus. Yang bisa diiris-iris sampai setipis kain. Ada mobil pikap yang mengumpulkan besek yang sudah siap jual: satu pasang besek Rp 1.700 (wadah dan tutupnya). Begitu murah harganya –membuat mereka bertahan menghadapi besek modern berbahan dari plastik.
Sampailah saya ke sebuah rumah di pinggir parit. Dinding depannya penuh gambar dan tulisan. Pun di dinding sampingnya. Saya lihat seperti ada tulisan yang berbentuk puisi. Maka saya baca tulisan itu, dengan gaya seorang penyair amatiran. Lihat videonya di IG saya.