>

74 Tahun Lalu Pejuang Jambi Pasang Banyak ‘Ranjau’ di Lapangan Terbang Paalmerah dan Bakar Kilang Minyak

74 Tahun Lalu Pejuang Jambi Pasang Banyak ‘Ranjau’ di Lapangan Terbang Paalmerah dan Bakar Kilang Minyak

Saat pesawat perang dan pasukan payung Belanda berhasil mendarat di Lapangan Terbang Paalmerah pada 29 Desember 1948--

JAMBI, JAMBIEKSPRES.CO.ID – Setelah Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945 bukan berarti masalah Indonesia dengan Belanda selesai.

Belanda kembali melakukan Agresi Militer. Agresi Militer I pada 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947 sementara Agresi Militer II dimulai sejak Desember 1948 hingga 1949.

Daerah yang mereka serang diantaranya Pulau Jawa dan Sumatera, termasuk Jambi.

Mengapa Belanda datang lagi? Ternyata untuk merebut kembali wilayah Indonesia.

Ini tentu saja melanggar Perjanjian Linggarjati. Dimana dalam perjanjian itu, Belanda sepakat akan mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera,dan Madura, juga disepekati Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.

Setelah didesak PBB, Belanda akhirnya melakukan gencatan senjata Agresi Militer I pada 5 Agustus 1947.

Kemudian 17 Januari 1948 Pemerintah RI dan Belanda menandatangani Perjanjian Renville, isinya menegaskan soal batas antara wilayah Indonesia dengan Belanda yang disebut Garis Van Mook.

Dalam perjanjian itu, Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia.

Sejarawan Jambi Drs. Ujang Hariadi mengatakan, ternyata Belanda tidak puas dengan Perjanjian Renville. Ketidakpuasan inilah yang membuat mereka akhirnya melakukan Agresi Militer II di Pulau Jawa dan Sumatera, Jambi diserang Belanda pada pada masa ini, tepatnya tanggal 29 Desember 1948.

“Kota Jambi diserang dari udara dan dihujani dengan peluru oleh pesawat terbang Belanda selama 24 jam,” kata Ujang saat acara Seminar Kajian Agresi Militer II Belanda di Jambi yang digelar Kamis (23/11/2023).

Namun pejuang Jambi ketika itu tak mau diam, mereka melakukan berbagai strategi untuk menghalau Belanda masuk.

Salah satunya adalah menghadang pasukan payung Belanda turun di Lapangan Terbang Paalmerah, kini Bandara Sultan Thaha Jambi.

pejuang Jambi ketika itu menancapkan banyak 'ranjau' berupa bambu-bambu runcing di Lapangan Terbang Paalmerah untuk mempersulit pasukan payung Belanda turun.

Di tepi Sungai Batanghari, juga dipasang banyak senapan mesin untuk menghadang serangan Belanda. Tak hanya Kota Jambi, beberapa wilayah lain di Jambi juga ikut diserang.

Peneliti Seloko Institute, Jumardi Putra menambahkan, pada tanggal 29 Desember 1948 itu pertempuran terjadi dimana-mana. “Seperti di Simpang Tiga Sipin hingga Lapangan Terbang Paalmerah yang banyak memakan korban,” lanjutnya.

Operasi merebut Kota Jambi dinamakan Belanda sebagai Operasi Militer Burung Murai. Pada dini hari, pasukan militer Belanda mengerahkan banyak pesawatnya, terdiri dari Dacota, B-25 Mitchell dan Pesawat Mustang.

Sementara dari perairan, angkatan laut Belanda masuk  ke Kota Jambi melalui Sungai Batanghari dengan kapal bernama Hr. Ms. Jan van Gelder. Tentu saja kapal ini dilengkapi senjata perang dan juga prajurit yang terlatih.

Apa yang ingin diambil Belanda sebenarnya di Jambi? Ternyata tujuan utamanya adalah untuk menguasai kilang minyak yang pernah mereka buka sejak tahun 1922 di Jambi.

Ada tiga kilang minyak yaitu yang berada di Kenali Asam, Tempino, dan Bajubang. Belanda tak bisa melupakan begitu saja kilang minyak di Jambi karena selain jumlah produksi yang berlimpah juga karena minyak asal perut bumi Jambi memiliki kualitas sangat bagus, jadi salah satu yang terbaik di dunia.

BACA JUGA:101 Tahun Lalu Belanda ‘Menguras’ Minyak di Jambi Sampai Bisa Bangun Bandara

Minyak-minyak asal Jambi pula yang mereka jadikan sebagai bahan bakar pesawat terbang sejak masa revolusi.

Para pejuang Jambi ketika itu tak mau kehabisan akal, kilang-kilang minyak itu kemudian dibakar guna mencegah Belanda masuk lagi.  Kebanyakan yang berhasil dibakar adalah instalansi di Kenali Asam.

Dan benar saja, kejadian ini membuat repot Belanda, meski akhirnya mereka berhasil juga menguasai Tanah Minyak, sebutan untuk tiga lokasi kilang yaitu Kenali Asam, Mestong dan Bajubang.  Belanda juga berhasil menguasai pusat pemerintahan Kota Jambi.

Kondisi ini membuat pusat komando militer kita terpaksa dipindahkan ke Bangko dan pusat pemerintahan dipindahkan ke Rantau Ikil Bungo, dokumen-dokumen penting pemerintahan pun dibawa serta dan berhasil diselamatkan.

Saat proses pindah ini, terjadi lagi perang yang mengakibatkan puluhan korban tewas.

Hingga kemudian Agresi Militer II Belanda berakhir setelah adanya perundingan gencatan senjata.

Tanggal 7 Mei 1949, Agresi Militer Belanda II berakhir, ditandai dengan ditandatanganinya Perjanjian Roem-Royen.

Diantara isi perjanjian tersebut, Belanda menyetujui kembalinya pemerintahan Indonesia ke Yogyakarta.

BACA JUGA:305 Tahun Lalu Habib Husin Membawa Islam Pertama di Jambi dan Menikahi Gadis Turunan Tionghoa Sekoja

Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik dan menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.

Terkait serangan Agresi Militer II di Jambi, beberapa bukti peninggalan sejarahnya kini masih disimpan di Museum Perjuangan Rakyat Jambi. (dpc/kar)



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: