3500 Tahun Lalu Bangsa Austronesia Datang ke Kerinci Lalu Lahir Suku Kerinci, Buktinya Ada di Danau Bento

3500 Tahun Lalu Bangsa Austronesia Datang ke Kerinci Lalu Lahir Suku Kerinci, Buktinya Ada di Danau Bento

Sejumlah pemuka agama duduk mengelilingi bangunan yang dilapisi kain berhias saat festival panen di Kumun, Sumatera. -Dok Wikipedia-

JAMBI, JAMBIEKSPRES.CO.ID - Suku Kerinci atau Uhang Kincai, Uhang Kinci merupakan salah satu Suku tertua di Indonesia.

Sekitar 3500 tahun lalu, penduduk bangsa Austronesia  bermigrasi ke wilayah Kerinci. Mereka mendiami wilayah dataran tinggi Kerinci dan sebagian dataran rendah.

Bangsa penutur Austronesia ini diantaranya gabungan berbagai etnis besar di Asia Tenggara. Etnis ini diantaranya etnis Taiwan, etnis Brunei, Timor Leste, Indonesia, Madagaskar, Malaysia, Mikronesia, Filipina, dan Polinesia.

Orang Austronesia memiliki ciri khas kulit berwarna muda sampai coklat, rambutnya lurus dan ada juga yang keriting atau bergelombang.

Bukti kehadiran mereka di tanah Kerinci terdapat di situs Bukit Arat, dan situs Koto Pekih yang  terletak di Desa Lolo Gedang dengan temuan alat-alat neolitik dan tembikar slip merah.

Bukti lain kehadiran bangsa penutur Austronesia ini di Kerinci juga ditemukan pada bukti paleoekologi (hubungan lingkungan dengan organisme pada masa lampau) di sekitar Danau Bento.

Di sekitar Danau Bento menunjukkan kehadiran bangsa Austronesia karena di sana terdapat indikasi aktivitas pertanian padi dan pengembalaan kerbau.


Kerbau dan burung bangau di pinggir sungai kawasan Rawa Bento. -Fauzi Yosi Esiska/Jambi Ekspres---

Bukti-bukti arkeologis kedatangan nenek moyang Uhang Kincai juga terdapat pada penemuan beliung persegi, tembikar tataplandas dan slipmerah, rumah panggung, pertanian padi, megalitik Batu Silindrik, dan Tempayan Kubur.

Sebenarnya, jauh sebelum kehadiran bangsa Austronesia di Kerinci,  sekitar  15000 tahun lalu, pada abad ke-5 hingga abad ke-9 Masehi, juga ditemukan indikasi kehidupan pra sejarah di Kerinci.

BACA JUGA:Danau Gunung Tujuh Bersinar di Tengah Kawasan Situs Warisan Dunia

Terindikasi terjadi peningkatan budaya yang terbuat dari batu-batu atau sering kita kenal dengan istilah Zaman Megalitikum atau zaman batu besar.

Hal ini terlihat dari tinggalan berupa megalitik Batu Silindrik, bekas rumah panggung, dan kubur tempayan dan temuan artefak perunggu dan besi.

Kemudian di Kerinci juga ditemukan Bejana Perunggu Prasejarah yang menunjukkan ada indikasi Kerinci juga memiliki pengaruh  Hindu-Buddha.

Hanya saja pengaruh Hindu Buddha di kawasan Kerinci ini belum terungkap secara detail, peneliti terus mencoba menggali hubungannya dengan Kerinci.

Pada zaman kolonial Belanda, pernah pula ditemukan berupa arca perunggu Awalokisterwara dan Dipalaksmi di Kerinci yang menunjukkan adanya pengaruh Hindu-Buddha di wilayah ini.

BACA JUGA:600 Tahun Lalu Tari Rangguk Kerinci untuk Memuja Arwah, Pernah Ditampilkan di Depan Presiden Soekarno

Pada Abad ke-14 M, Maharaja Dharmasraya dari Kerajaan Malayu di Hulu Batanghari menganugerahkan Kitab Undang-Undang kepada para Dipati di Silunjur Bhumi Kurinci.

Kitab tersebut ditulis oleh Kuja Ali Dipati dan sekarang masih tersimpan sebagai pusaka Luhah Depati Talam, Dusun Tanjung Tanah.

Antara Abad 15-16 M, Kerajaan Melayu Jambi mulai menancapkan kekuasaan politiknya kepada Orang Kerinci.

Kerajaan Melayu Jambi mendudukkan pejabatnya sebagai wakil raja bergelar Pangeran Temenggung Mangku Negara di Muaro Masumai (Merangin, Sekarang).

Pangeran Temengggung bertugas mengontrol dan menghubungkan para penguasa di wilayah Puncak Jambi yakni Serampas dan Kerinci dengan kekuasaan Kerajaan Melayu Jambi di hilir.

Bukti hubungan antara Depati (kepala klan) di wilayah Kerinci berupa puluhan naskah surat piagam Raja yang masih disimpan sebagai pusaka hingga kini.

BACA JUGA:Amazing! Bisa Memandang Danau dan Gunung Kerinci Sekaligus dari Bukit Telasih

Di masa ini, terbentuk persekutuan para Depati di Kerinci seperti Depati IV dan Delapan Helai Kain dengan balai pertemuan berada di Sanggaran Agung.

Pada sekitar abad ke-17 M, para Depati di Kerinci mengadakan perjanjian dengan Kesultanan Inderapura di Pesisir Barat Sumatera.

Perjanjian ini dikenal dengan nama Persumpahan Bukit Tinjau Laut karena dilaksanakan di Bukit tersebut.

Perjanjian Bukit Tinjau Laut dihadiri oleh pihak Kesultanan Jambi yang diwakili Pangeran Temenggung, pihak Kesultanan Inderapura diwakili oleh Sultan Muhammadsyah atau dikenal dengan gelar Tuanku Berdarah Putih, dan pihak Kerinci yang diwakili oleh Depati Rencong Telang dari Pulau Sangkar dan Depati Rajo Mudo dari Kemantan.

Isi perjanjian tersebut adalah untuk saling menjaga keamanan penduduk di tiga wilayah tersebut ketika mereka berniaga ke wilayah lain.

Selain itu, perjanjian juga meliputi pemberlakuan mata uang yang berbeda di masing-masing wilayah tersebut “pitis sekeping dibagi tiga” serta aturan-aturan keringanan cukai bagi para peniaga Kerinci di Inderapura.

Pada abad ke-17 hingga abad ke-19 M,mulai terbentuk pemerintahan federasi lain di luar Depati IV dan VII Helai Kain di Kerinci.

BACA JUGA:Serasa Wisata di Negeri Awan, Rumah Orang Eskimo di Bukit Sungai Langit Kerinci?

Seperti pemerintahan Siulak Tanah Sekudung pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Zainuddin, Kumun Tanah Kurnia pada masa Sultan Masud Badrudin, dan Tanah Pegawai Rajo Pegawai Jenang di Sungai Penuh pada masa Pangeran Sukarta Negara.

Pada awal abad ke-19 M, orang-orang Eropa mulai mempelajari kawasan Kerinci dan penduduknya.

Pada tahun 1906, Pemerintah Hindia Belanda menjadikan Kerinci bagian dari Residentie Djambi atau Keresidenan Jambi setelah Djambi dipisahkan dari Residentie Palembang.

Saat itu, Kerinci atau Korintji berstatus onderafdelling di bawah afdeeling Djambi Bovenlanden. Pada tahun 1912, status administratif Kerinci dinaikkan dari onderafdeeling menjadi afdeeling di bawah Residentie Djambi.

Pada tahun 1920-1, afdeeling Korintji dikeluarkan dari Residentie Djambi dan kemudian dimasukkan ke dalam Karesidenan Sumatra's Westkust (Keresidenan Sumatera Barat).

Pada masa itu, Kerinci dijadikan wilayah setingkat onderafdeeling di bawah Afdeeling Painan.

Pada akhir era Kolonial, Kerinci berada dalam satu onderafdeeling dengan Inderapura.

Pada era Kemerdekaan, Kerinci merupakan wilayah setingkat kewedanan di bawah Kabupaten Pesisir Selatan-Kerinci.

Kabupaten Pesisir Selatan-Kerinci berada di bawah Keresidenan Sumatera Barat, Subprovinsi Sumatera Tengah, Provinsi Sumatera.

Kewedanan Kerinci waktu itu terbagi menjadi tiga Kecamatan yaitu:

1.Kecamatan Kerinci Hulu terdiri dari Kemendapoan Danau Bento, Kemendapoan Natasari, Kemendapoan Siulak (Wilayah Adat tanah Sekudung) serta Kemendapoan Semurup,
2.Kecamatan Kerinci tengah terdiri dari Kemendapoan Depati Tujuh, Kemendapoan Kemantan, Kemendapoan Rawang, Kemendapoan Sungai Tutung, Kemendapoan Limo Dusun, Kemendapoan Penawar, Kemendapoan Hiang,dan Kemendapoan Keliling danau,
3.Kecamatan Kerinci Hilir terdiri dari kemendapoan seleman,Kemendapoan 3 Helai Kain, kemendapoan Lempur, dan Kemendapoan Lolo.

Pada tahun 1954, ketika rakyat Jambi berjuang untuk mendirikan Provinsi Jambi, salah seorang tokoh masyarakat Kerinci datang ke Bangko untuk menghadiri pertemuan dengan Front Pemuda Jambi.

Kedatangan beliau dalam rangka untuk mendengarkan aspirasi masyarakat Kerinci terkait keinginan mereka untuk bergabung dengan Provinsi Jambi yang akan dibentuk.

BACA JUGA:Wisata Pasir Hitam Bekas Muntahan Gunung Kerinci

Salah satu tokoh Kerinci yang hadir yakni Sati Depati Anom mengatakan bahwa "Pucuk Jambi Sembilan Lurah", tidak lengkap kalau di dalamnya tidak termasuk Kerinci.

Melalui UU No 61 tahun 1958, pada tahun 1958 kemudian Kerinci ditetapkan menjadi satu kabupaten yang berdiri sendiri, dan masuk ke dalam wilayah Provinsi Jambi.

Demikian perjalanan asal asul Suku Kerinci hingga terbentuknya pemerintahan di Kerinci.

Artikel ini mengutip dari berbagai sumber. Jika terdapat kesalahan atau perubahan informasi harap bisa dimaklumi atau bisa menghubungi redaksi kami. Terimakasih. (*)

Referensi:
1. Wikipedia
2.Zulyani, Hidayah (2015). Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN 9789794619292. OCLC 913647590.
3.Setyaningsih, Christina dkk, 2019. "First Palaeoecological Evidence of Buffalo Husbandry and Rice Cultivation in the Kerinci Seblat National Park in Sumatra, Indonesia". Journal of vegetation history and archaeobotany, Springer, pp. 1-16
4.Bonatz, Dominik, 2015. 4000 Tahun Jejak Permukiman Manusia Sumatera: perspektif arkeologis di dataran tinggi pulau Sumatera. Medan: Unimed
5.Kozok, Uli, 2006. Kitab Undang-undang Tanjung Tanah Naskah Melayu yang tertua tahun 2006, Yayasan obor Indonesia
Sunliensyar, Hafiful Hadi, 2019. Tanah, Kuasa, dan Niaga: Dinamika Relasi antara Orang Kerinci dan Kerajaan-Kerajaan 6.Islam di Sekitarnya dari abad XVII hingga abad XIX. Jakarta: Perpusnas Press
7.Sunliensyar, Hafiful Hadi. 2021. Kisah Nabi Adam dalam Manuskrip Incung Kerinci. Jurnal Lektur Keagamaan
8.Sunliensyar, Hafiful Hadi. 2022. Padi dalam Kehidupan Orang Kerinci: Sejarah, Mitos, Ritual, dan Nilai Budaya. Jakarta: Perpusnas Press





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: