PLTU Batu Bara Bertanggung Jawab Atas 10.500 Kematian di RI Tahun 2022

PLTU Batu Bara Bertanggung Jawab Atas 10.500 Kematian di RI Tahun 2022

Ilustrasi operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Indonesia-Foto: Dok PLN-

JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO..ID - PLTU Batu bara bertanggung jawab atas 10.500 kematian di RI tahun 2022.

Angka ini bisa semakin meningkat tajam, mencapai 180.000 kematian jika PLTU batu bara tak segera pensiun tahun 2040.

Hanya saja, angka ini masih bisa dicegah apabila semua proyek PLTU batu bara pensiun di Indonesia tahun 2040 dan semua proyek PLTU batu bara ikut dibatalkan.

Emisi polutan udara dari PLTU batu bara menjadi salah satu penyebab atas kehilangan nyawa di Indonesia.

pada tahun 2022, biaya kesehatan untuk mencegah 10.500 kematian yang terjadi di RI itu bisa mencapai USD 7,4 miliar atau setara Rp111,126 Triliun.

Demikian hasil penelitian Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Institute for Essential Services Reform (IESR), yang dikutip Jambi Ekspres pada siaran pers, Minggu (19/7/2023), dengan judul Health Benefits of Just Energy Transition and Coal Phase-out in Indonesia.

Menurut hasil penelitian tersebut, dampak kesehatan ini akan terus meningkat dengan beroperasinya PLTU batu bara yang baru selama satu dekade ke depan, kecuali jika pertumbuhan pembangkit listrik bersih dipercepat untuk memenuhi pertumbuhan permintaan.

Besarnya dampak kesehatan yang terjadi di tengah masyarakat,  juga terjadi karena seluruh PLTU batu bara tidak memiliki alat pengendali emisi polusi udara yang efisien untuk polutan seperti sulfur dioksida, nitrogen oksida, dan merkuri.

Ini adalah bukti bahwa standar emisi nasional masih lemah. Standar yang lebih kuat membutuhkan investasi dalam pengendalian polusi udara, dapat mencegah hingga 8.300 kematian akibat polusi udara per tahun pada tahun 2035, dengan biaya kesehatan yang dapat dihindari jauh melebihi biaya yang terkait dengan teknologi tersebut.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengatakan, penghentian PLTU batu bara memang membutuhkan investasi awal.

Biaya kesehatan yang dihindari dari penghentian PLTU batu bara tahun 2040, akan mencapai USD 130 miliar (Rp 1.930 triliun),

Namun investasi sebesar USD 32 miliar atau setara kurang lebih Rp 450 triliun diperlukan untuk merealisasikan penghentian pengoperasian PLTU batu bara. “Sehingga investasi ini akan sangat menguntungkan bagi seluruh masyarakat,” tegas Fabby.

Penghentian penggunaan PLTU batubara pada tahun 2040 diperlukan untuk memenuhi target Persetujuan Paris, berdasarkan Badan Energi Internasional (IEA).

Fabby juga menekankan bahwa pemerintah harus mendesak perusahaan listrik untuk mengevaluasi kembali rencana mereka untuk membangun pembangkit listrik baru dan segera mengambil tindakan untuk beralih ke pembangkit energi terbarukan. Peralihan ini akan menghasilkan manfaat ekonomi, sosial, dan kesehatan yang signifikan.

Indonesia saat ini menargetkan penghentian penggunaan PLTU batu bara pada tahun 2050, dengan beberapa pengecualian, dan ini direkomendasikan untuk dipercepat menjadi 2040.

"Pada pertemuan puncak G20 tahun lalu, Indonesia menandatangani pernyataan bersama Just Energy Transition Partnership (JETP), yang berkomitmen untuk mencapai puncak emisi sektor ketenagalistrikan pada tahun 2030 dengan nilai absolut 290 juta ton CO2e,” kata Fabby.

Dan untuk mencapai target ini, Indonesia harus menghentikan sekitar 9 GW pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) dalam satu dekade ini.

Namun demikian, diperlukan kepastian strategi mitigasi untuk mengurangi dampak negatifnya untuk PLTU batuvbara yang belum mencapai waktu penonaktifannya. Penerapan strategi ini harus menjadi bagian integral dari solusi untuk transisi energi yang berkeadilan," lanjutnya lagi.

"Penelitian kami menunjukkan bahwa mengurangi emisi dari PLTU batubara tidak hanya baik untuk kesehatan dan kesejahteraan, tetapi juga dapat menguntungkan masyarakat Indonesia secara ekonomi,” lanjut Lauri Myllyvirta, salah satu penulis laporan tersebut dan Analis Utama CREA.

Biaya kesehatan yang dihindari, kata Lauri dapat lebih dari sekadar mengkompensasi investasi yang diperlukan untuk menutup pembangkit listrik tenaga batu bara dan membangun pembangkit listrik bersih sebagai penggantinya,

Sementara itu, Raditya Wiranegara, Peneliti Senior IESR mengatakan, penelitian CREA dan IESR mengembangkan jalur pengakhiran operasional PLTU batubara berbasis kesehatan yang pertama di Indonesia, berdasarkan pemodelan atmosfer yang terperinci dan penilaian dampak kesehatan per pembangkit listrik (health impact assessments, HIA).

Jalur ini memaksimalkan manfaat kesehatan dari peralihan PLTU batu bara ke energi bersih dengan mengakhiri operasional PLTU atubara yang paling berpolusi terlebih dahulu.

"Penelitian ini memberikan daftar PLTU batu bara yang diurutkan berdasarkan dampaknya terhadap biaya kesehatan per unit pembangkit, yang sebenarnya dapat berfungsi sebagai metrik tambahan untuk dipertimbangkan dalam membuat prioritas penghentian pembangkit listrik” kata Raditya.

Hal ini merupakan masukan yang sangat penting karena sekretariat JETP saat ini sedang menyusun Comprehensive Investment Plan and Policy (CIPP).

Dimana pemensiunan pembangkit listrik tenaga batu bara merupakan salah satu bidang investasi yang termasuk dalam dokumen tersebut. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: