Bagian 7: “Sejarah: Masa Lalu Yang Dihargai”
ilustrasi--
Arjuna, Aresa dan Azer kini duduk bertiga di taman sekolah. Ketiganya sepakat membawa bekal buatan masing – masing, tanda damai diantara ketiganya. Ternyata ketiganya hanya perlu mengenal sedikit lebih lama, sebab Azer tahu bahwa Arjuna dan Aresa tidak semenyebalkan yang ada dalam kepalanya. Ketiganya duduk melingkar dengan kotak makan masing – masing, Aresa menjadi orang pertama yang membuka kotak bekalnya. Tampak nasi goreng dan beberapa sandwich yang tersusun rapi. Tipikal Aresa yang rapi. Tentu saja tidak hanya dari segi tampilan, Aresa jamin makanannya sama enaknya dengan tampilannya, sebab Aresa sendiri sangat yakin dengan kemampuan memasaknya. Arjuna dan Azer saling menatap. Keduanya kompak menyembunyikan kotak makan mereka, dan mengambil sandwich Aresa dan memakannya tanpa beban. Makan seolah tidak terjadi apa – apa.
“Apa – apan lo berdua?!” Aresa memekik kesal, benar sih sandwich memang ia buat untuk mereka bertiga. Tapi, Aresa sendiri belum melihat makanan yang dibawa Arjuna dan Azer. Arjuna dan Azer seolah tuli, memekkan telinga dari pekikan Aresa.
“Lo berdua nggak bawa kotak kosong kan?!” Aresa menuduh keduanya kompak, yang segera keduanya tepis dengan golongan kuat.
“Nggak kotak kosong juga elah!” Bantah Azer, ia menggaruk kepalanya bingung mejelaskan. Menatap kotak makannya dengan tatapan bingung, seolah ia dihadapakan dengan pilihan yang berat.
“Lo?! Ngapain juga lo sembunyi bukannya udah gue ajarin masak semalam?!” Aresa menatap Arjuna kini dengan curiga. Sedang sang empu yang ditatap tersenyum bodoh. Jika Azer bingung dengan kotak makannya, maka Arjuna lebih bingung, bahkan ia takut jika membuka kotak makannya ia akan disebut pembunuh. Belum lagi selain Aresa, saat Arjuna pulang nanti Arjuna yakin satu monster kecil sudah menunggu untuk menghabisi nyawanya saat ini juga.
“Gimana ya…??” Bingung Arjuna, ia menatap Azer. “Jelasin Zer!” Suruh Arjuna yang dibalas gelengan kuat oleh Azer.
“Ogah, lo aja! Gue nggak mau terlibat dalam kasus pembunuhan berencana lo itu?!” Balas Azer.
“Siapa yang berencana?! Nggak sengaja itu!” Arjuna panik sebab tuduhan Azer yang benar dan tidak benar.
“Nggak sengaja kok sampai mati?!”
“Ya mana gue tau! Ajalnya udah datang…mungkin.” Cicit Arjuna semakin kelabakan. “Tapi bukannya lo juga kasus pembunuhan ya!” Arjuna memojokkan Azer.
“Gua mah yang masih zigotnya. Setidaknya nggak nyiksa. Lu dia udah gede anjir! Udah bernafas mati gara – gara lo!” Azer yang merasa terpojok mau tak mau membuat Arjuna harus tampak lebih buruk darinya, “Dasar manusia pembunuh!” Azer mendramatisi keadaan dengan ekspresinya.
“Lo diam deh! Gue lempar sol sepatu juga lo lama – lama!” Kesal Arjuna yang merasa terpojok, salahnya juga melibatkan Azer. Arjuna menatap Aresa serius. “Sa, lo lebih percaya sama siapa? Gue yang udah bertahun – tahun bersahabat sama lo atau sama si Sezer Sezer ini yang songong banget waktu lo minta maaf sama dia!” Arjuna menghasut Aresa.
“Wah, playing victim macam apa ini Samsudin!” Bantah Azer, “Sejak kapan juga gua gantai nama jadi Sezer Sezer hah?! Nama gue Azer!”
“Sa, lo harus selalu ingat pepatah, luka paling sakit datang dari orang paling dekat!” Azer turut menghasut Aresa.
“Pepatah sialan macam apa itu?! Mana ada, jelas orang paling dekat yang paling peduli! Korban broken home ya lo?!” Jujur Arjuna hanya niat bercanda, tidak bermaksud menyinggung siapapun termasuk Azer.
Azer diam beberapa saat, “Eh…ya bener nggak bener sih, soalnya mak bapak gue pisah rumah tapi kagak cerai.” Azer menggaruk kepalanya bingung, sedang Arjuna tengah menepuk mulutnya berkali – kali.
Aresa yang menyimak sedari tadi pertengkaran keduanya sembari memakan nasi gorengnya, kini tersenyum senang. Sebab tenaganya sudah full untuk memberi kedua teman laki – lakinya ini pelajaran hidup. Soal betapa pentingnya menepati janji.
“Arjuna, Azer!” Panggil Aresa.
Bugh!
Bugh!
***
Aresa kini tengah duduk santai memandori kedua temannya yang tengah sibuk satu menggali kubur dan satunya lagi tengah mengkafani ayam warna warni milik Adela yang dimasukkan Arjuna ke kotak makannya, dan berakhir tragis tak bernyawa. Saat tau faktanya, Aresa menggelengkan kepalanya, Arjuna itu murid paling berprestasi di sekolahnya, bagaimana sahabatnya itu bersikap sangat bodoh. Sedangkan Azer, tidak berbeda jauh dengan perbuatan Arjuan. Azer membawa tiga telur mentah yang berkahir pecah di dalam kotak makannya. Pantas keduanya tampak cocok dan pas. Mau dari segiapapun keduanya mirip bahkan dari segi yang Aresa tak sangka – sangka.
“Tobat lo pada! Jangan lupa bacain alfatihah, bisa – bisanya ada manusia otaknya taro dengkul kaya lo berdua!” Aresa masih kesal dengan tingkah kedua temannya itu.
“IYA!! SIAP NYONYA ARESA!!” Keduanya berujar kompak yang dibalas Aresa dengan tawa kecil, ternyata menyenangkan menjahili keduanya seperti anak kecil. Aresa menatap Arjuna, ia tidak akan pernah terkejut dengan tingkah Arjuna yang kadang memang luar biasa, karena memasukkan anak ayam milik Adela ke kotak makannya tidak seberapa jika dulu saja Aresa tidak melihat percobaan Arjuna kecil yang mencoba menggucang Adela dalam mesin cuci.
“Arjuna! Adeknya kenapa mau diguncang nak, ya allah!” Aresa masih ingat dengan jelas suara panik tante Arini melihat putrinya yang sedikit saja terlambat ia cegah, entah apa yang terjadi.
“Adek kan suka diayun Bunda! Mesin cuci kan putar – putar, jadi adek pasti suka diputar – putar, biar bunda nggak capek, adek jadi cepat tidur!” Arjuna turut memeragakan bahasanya dengan gerak tubuh yang membuat Arjuna kecil itu menggemaskan. Antara polos dan bodoh berbatas sangat tipis.
Aresa menyemburkan tawa pelan mengingat Arjuna, kini sahabatnya itu tumbuh dengan cepat, dulu rasanya Arjuna hanya sedagunya kini ia bahkan tak bisa melampaui bahu Arjuna. Kemudian, Aresa menatap Azer, pertemuan pertama mereka yang sedikit unik, menjadi peristiwa yang cukup Aresa kenang. Tatapan permusuhan Azer dulu ternyata benar – benar ada, melihat tingkah Azer kini yang sebelas duabelas mirip dengan Arjuna. Azer tidak berbicara sebanyak Arjuna, diantara mereka Azer juga lebih sering jadi pengamat, saat Arjuna dan Aresa berlomba lari menuju kantin, Azer akan lebih dulu menjaga meja di kantin untuk mereka. Saat dirinya dan Arjuna berdebat, Azer hanya akan menyimak dengan seksama, dan tertawa kala dirasanya perdebatan itu lucu. Azer akan banyak bicara saat ia membicarakan hal favoritnya atau berdebat dengan Arjuna tentang liga sepak bola kebanggaan masing – masing, atau menceritakan tentang sejarah – sejarah dan kota – kota Yunani. Kata Azer, andai ayah dan ibunya tidak memaksanya untuk mengambil jurusan MIPA, Azer tidak akan berkutat dengan kimia dan fisika sekarang yang masih jadi musuh bebuyutannya, melaikan ia akan banyak membaca ensiklopedia atau buku sejarah – sejarah dunia.
“Sa, lo tau cerita Ken Arok, Ken Dedes, Sama Tunggul Ametung kan?” Percakapan itu terjadi sore hari kala Aresa dan Azer menunggu Arjuna selesai dari latihan basketnya.
Aresa mengangguk, Azer tersenyum semangat. “Kalo gua punya cewek, gua pengen jadi kayak Tunggul Ametung!” Aresa masih ingat bagaimana Azer tersenyum dengan mata yang berbinar. Aresa yang turut membayangkan juga merasakan eufhoria perasaan Azer.
“Obsesi dong!” Celutuk Aresa yang dibalas dengusan oleh Azer.
“Ya, jangan contoh yang jeleknya dong!” Balas Azer.
“Terus?!”
“Gue bakal mencintai layaknya Tunggul Ametung, yang sampai di nafas terkahir pun Ken Dedes tetap satu – satunya wanita, dan satu dunia harus tau kalo Anuspati punya ayah yang hebat yang rela beri nafas untuk hidup orang – orang tercinta.”
“Senang ya nanti dicintai sama Tunggul Ametung versi kini!” Goda Aresa yang dibalas Tawa Azer, keduanya saling menggoda sore itu soal siapa yang paling cocok jadi Tunggul Ametung dan Ken Dedes nantinya.
Aresa mentap Azer lama, kemudian tersenyum, dalam lamunannya ia membayangkan dirinya, bagaimana rasanya dincintai dengan hebat oleh orang yang mencintai sejarah yang artinya bagaimana rasanya dicintai oleh orang yang teramat sangat menghargai masa lalu?
Dicintai oleh Azer itu bagaimana rasanya….? (Bersambung)
Ari Hardianah Harahap--
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: