>

Bagian 3: “Sialnya Hari Pertama”

Bagian 3: “Sialnya Hari Pertama”

ilustrasi--

Azer tidak pernah berekspetasi jika hari pertamanya di sekolah barunya, ia disambut dengan lemparan sepatu yang menyebabkan dahinya berdarah dan mendapat dua jahitan. Sialnya lagi, kejadiaan naas itu dipertotonkan oleh satu sekolah, habis sudah harga dirinya, yang pada dasarnya hanya sesisa sedikit remahan sebab ia dipindahkan dari sekolah lamanya dengan diri…yang err bagaimana harus Azer katakan, ia bukan siswa berandalan yang ikut tawuran sana sini, hanya saja kejadian beberapa bulan lalu itu memang sedikit jadi hari sialnya yang membuatnya teracam Drop Out, dan satu – satu pilihannya adalah memindah diri lebih baik dibandingkan dikeluarkan secara tidak terhormat, walau cukup krusial baginya karena telah menginjak tingkat akhir di SMA.

“Kalo sakit, tolong sedikit tahan, ya.” Azer mengangguk mendengar arahan dari perempuan yang bernama Dokter Sanita itu, saat alkohol menyapu dahinya, sungguh Azer ingin berteriak sekeras mungkin.

“Ugh.. pelan – pelan, dokter.” Ringis Azer dengan suara pelan, yang segera diangguki oleh Dokter Sanita. Azer bersumpah setidaknya ia harus memberi satu tonjokan mantap pada pipi sang pemilik sepatu yang menyebakan wajah paripurnanya lecet dan membuatnya harus menahan rasa sakit yang terasa sedikit lagi membuatnya gila walau Dokter Sanita sudah bergerak dengan pelan dan lembut.

“Yang lempar sepatu ke kamu ini, namanya Aresa.” Sembari mengobati lukanya, Dokter Sanita bercerita pada Azer perihal pelaku bar – bar di lapangan upacara, “Dia selalu sama temannya, Arjuna namanya. Mereka itu sepaket, dimana ada Aresa disitu ada Arjuna. Biang keroknya SMA ini, tingkahnya setiap hari itu ada – ada saja yang nyaris buat saya was – was tiap hari. Karena setiap mereka harus ketemu saya, selalu ada luka yang harus saya obati, entah itu Aresa yang jarinya berdarah karea kejepit pintu atau Arjuna yang jatuh di lobi sekolah, nyaris lumpuh.”

“Hari ini saya kaget, biasanya saya bakal ketemu dengan Aresa dan Arjuna itu di senin pagi karena satu dari kedunya pasti ada aja yang pura – pura sakit, alasan biar nggk berdiri lama di upacara. Tapi, saya malah harus ngobatin kamu. Senakal apapun Aresa dan Arjuna mereka nggak pernah sampai melukai orang lain kaya begini, saya yakin kedunya lagi cemas di depan pintu.” Dokter Sanita dan Azer diam sebentar, mendengar dengan seksama suara ribut – ribut dibalik pintu.

“Kamu boleh marah, tapi maafnya dua anak nakal itu tolong diterima, ya. Saya yakin mereka nggak sengaja,” Dokter Sanita, menempelkan perban, sebagai step terakhir. Azer menatap dahinya melalu cermin yang diberi Dokter Sanita. “Jangan dibawa mandi dulu ya sampai lukanya kering, nanti waktu jam istirahat saya kasih obatnya.” Peringat Dokter Sanita yang hanya diangguki oleh Azer.

“Sekarang, waktunya liat drama dua manusia nakal.” Ujar Dokter Sanita semangat, tertawa pelan yang dibalas Azer dengan senyuman seadanya. Mau dibagaimanapun juga, Azer tetap dendam, rasa sakit sekecil apapun itu tetap sakit!

Sekali lihat saja, Azer tahu bahwa Dokter Sanita dan Guru laki – laki yang berkunjung sebagai wali kelasnya itu terlihat sangat dekat saling bercengkram dan melempar canda. Jika dilihat tanpa tahu hubungan asli keempatnya, Azer pasti akan mengira jika Dokter Sanita dan Pak Jaya—wali kelasnya—adalah orangtua dari dua orang yang sekarang tersangka utama penyebab lukanya.

“Pantas sedaritadi dibela – belain, ternyata dekat, cih!” Batin Azer, tadinya ia ingin mendengarkan perkataan Dokter Sanita. Namun, melihat interaksi kedunya, Azer tahu bahwa Dokter Sanita dan Pak Jaya itu adalah dua orang dibelakang Aresa dan Arjuna, sehingga sebanyak apapun salahnya Aresa dan Arjuna kedunya masih mampu bersekolah dengan aman dan nyaman.

Percakapan keempatnya kini terdengar samar – samar, sebab Azer mulai merasa mengantuk, efek obat yang barusan saja ia minum mulai bereaksi. Matanya buram, melihat keempatnya samar – samar, Ia masih melihat kedua manusia berseragam putih  abu – abu itu tengah ditarik telinganya oleh Pak Jaya, sedang Dokter Sanita menatapnya sungkan, isyarat tak langsung menyuruhnya untuk sedikit lebih pengertian. Tapi, maaf ya Dokter, Azer ini pendendam ulung, rasanya tidak adil, ia dan rasa sakitnya, sedang kedunya tertawa tanpa masalah. Azer benci.

“Sampe lo berdua jungkir balik ngemis maaf dari gue, jangan panggil gue Azer Jenggala!” Maki Azer dalam hati. (Bersambung)


Ari Hardianah Harahap--

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: