Still in World: “Privilage jadi Cantik Juga Menyakitkan”
ilustrasi--
“Gue pengen jadi cantik kayak lo, senang rasanya didengarkan sama orang lain, yang pendapatnya dipertimbangin, yang apa – apanya itu…didukung banyak orang,” Seradin bukan pertama kalinya dengar kalimat perbanding yang dilontarkan sahabatnya ini.
Mata kuliahnya padat, harinya lelah, tak kalah dengan hati dan batinnya yang terus berperang, perihal apa saja yang sudah ia lalui sehari ini. Bertandangnya ia juga sepertinya tidak disambut dengan baik oleh Sahabatnya ini, ia tak ingin dengar pujian yang berujungan perbandingan mereka, ia hanya ingin sebuah kata sederhana untuk berbagi kisah, tawa, sendu dan juga duka.
Seradin pikir, wajar, ada masa – masanya sebagai manusia insecuritas itu menyerang diri tak kenal waktu. Tidak peduli siapa standarisasinya, bahkan kadang datang dari manusia yang paling dekat, keluarga. Dari zaman ke zaman, rasanya mustahil untuk merubah perbandingan sturuktual antara keluarga, si A yang beginilah, si A yang begitulah. Apalagi, manusia yang kenal dalam beberapa waktu yang sedikit lebih lama.
“Lo cantik kok, Ray. Pipi lo siapa yang nggak gemes buat cubit. Siapa yang nggak pengen meluk lo? Lo juga pintar, nggak perlu susah – susah belajar dari minggu – minggu sebelumnya, lo bisa paham materi dari semalam. Lo juga cepet deket sama dosen – dosen, kurang cantik apa lagi sih lo Ray?” Seradin tahan lara hatinya, ia beri sepenggal kata yang mungkin bisa perbaiki nuansa hati sahabatnya ini.
“Hahaha…tapi nggak kayak lo—”
“Apanya yang kayak gue? yang cantik? Yang dipuja cowo? Yang apa – apanya nggak perlu susah payah bakal banyak orang yang berbondong – bondong buat bantu. Fuck off, Raysa! Gue nggak selalu gitu, lo…apa yang buat lo kesal sama gue? gue ini…” Nyatanya Seradin salah, ia pikir penggal – penggal kalimatnya itu akan beri suasanya yang cukup baik antara mereka. Seradin ini manusia, yang punya batas perihal toleransi rasa, entah itu sabar, kecewa, marah, apapun itu Seradin bukan yang bisa simpan dalam diam sampai mati. Hatinya ini bagaimana lagi dijabarkan kalo Raysa ini begitu keras kepala beri ia luka dan lara, padahal antara banyaknya lelah, Raysa itu teman yang ingin ia ajak sama – sama buat dunia yang tawanya lebih lama dibanding duka.
“Ray, Gue nggak mau begitu. Bilang sama tuhan kalo gue bukan hambanya yang bersyukur,” Seradin menatap Raysa pilu, ia lelah setengah mati sampai tak sanggup lagi ungkap beban di hatinya ini. “Gue nggak mau jadi cantik kalo bisa, gue nggak mau dikejar – kejar cowo yang ujungnya cuma kasih pelecahan dan ancaman. Gue pengen jadi manusia yang biasa – biasa aja, yang nggak pusing mikirnya pendapat dunia tentang gue. Yang bisa jadi apa ada dirinya, bukan dituntut sempurna. Jadi standarisasi itu nggak enak, cantik itu nggak melulu soal lo yang punya wajah glowing, body yang bagus dan apapun itu. Cantik itu…” Seradin menutup wajahnya menangis, ia ini bukan wanita bermental baja, hanya diam bukan berarti baik segalanya.
“Seradin…”Raysa gelagapan, sahabatnya luar biasa emosianal padahal dia nggak bermaksud. Yang buat Raysa bingung lagi, ia hanya diperintah mengikuti naskah drama yang diberi Seradin menagapa sahabatnya itu malah berucap serius diluar naskah. Seradin masih menangis, beri Raysa muak melayangkan naskah yang digulung itu mendarat diatas kepala Seradin keras.
“Ini cuma drama ya jamet! Nggak usah dramtis lo!” Kesal Raysa, Seradin mendadak diam dari tangisnya, menatap Raysa dengan wajah berkaca – kaca, “Tapi kok gue merasa relate ya?” Tanya Seradin, bibirnya mencebik, buat Raysa ingin muntah, jijik dengan ekspresi Seradin.
“Yang bilang lo cantik siapa?” Tanya Raysa, Seradin itu kalo sudah pede kapasitasnya overdosis. Tak peduli siapapun, tak peduli dimanapun, selama ia merasa ada, satu dunia harus tau perihalnya.
Seradin tertawa, ia cuil lengan Raysa yang memang dasarnya tidak suka disentuh sediktpun, menggoda sahabatnya hingga marah, “Apa bener? Gebetan lo naksir gue!” Jahil Seradin buat Raysa beri tatapan tajam, fakta satu – satu itu selalu buat Raysa kalah telak. Raysa cantik, setidaknya ia percaya kata Mamanya, akademisinya pintar, pergaulan dan relasinya tidak banyak namun poin – poin penting ia pegangi, sedikit sih memang, tapi sekelas rektor saja bisa Rasya ajak bergurau, tentu yang lain layaknya remah rengginang. Berbeda dengan Seradin, cantik, divalidasi oleh semua orang kecuali yang mataya soak luar dalam, relasinya banyak juga dengan lingkup pertemanannya, berbagai macam kalangan, berbagai macam orang – orang. Akademisinya biasa – biasa saja, masih jadi mahasiswa yang memikirkan trik dan tips menyontek tanpa ketahuan, masih jadi mahasiswa yang cari – cari soal dari kelas sebelah.
“Kita ini…” Raysa menggantungkan kalimatnya, “Kenapa ya nggak bisa merasa cukup, kalo semuanya ada, kelewat sempurna kita jadi manusia.” Ujarnya sembari tertawa pelan, canda memang. Maknanya yang begitu luar biasa hebat buat lara di hati masing – masing.
“Iya, makanya jadi manusia, biar kita salah, biar kita nggak pernah merasa cukup.” Seradin mengimbangi, “Jadi cantik juga menyakitkan, dijadikan standarisasi nggak semenyengakan itu. Jadi yang terbelakang juga ada lukanya, kita nggak punya atensi buat beri perhatian, jadi yang ditengah, kita serba salah. Soal luka dan lara, karena kita manusia nggak luput dari salah.”
Ari Hardianah Harahap--
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: