Bisakah Hakim Menjatuhkan Putusan ‘Mati’ untuk Ferdy Sambo Meski Tuntutan JPU Hanya Penjara? Ini Penjelasannya

Bisakah Hakim Menjatuhkan Putusan ‘Mati’ untuk Ferdy Sambo Meski Tuntutan JPU Hanya Penjara? Ini Penjelasannya

REKONSTRUKSI - Irjen Ferdy Sambo (kuning) saat melakukan rekonstruksi pembunuhan Brigadir J di Rumah Dinas Duren Tiga. (foto: jpnn/rtc)----

JAMBI, JAMBIEKSPRES.CO.ID - Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) penjara seumur hidup untuk Ferdy Sambo telah menimbulkan beragam persepsi di tengah masyarakat. 

 

Ada yang berpendapat itu setimpal, sebaliknya ada yang tidak puas karena menganggap Ferdy Sambo seharusnya dihukum mati. 

 

Hanya saja, itu baru tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Bagaimana dengan hakim kelak? bisakah hakim menjatuhkan putusan yang lebih tinggi dari tuntutan jaksa penuntut umum?. 

 

Pada pasal 183 KUHAP disebut, sebenarnya pada sistem peradilan Indonesia, seorang hakim dalam memberikan putusan harus didasari oleh 2 alat bukti yang sah ditambah dengan keyakinan hati nuraninya.

 

Mengutip lawyersclubs.com, disebut pada Pasal 193 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”):

 

Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana kepadanya.

 

Putusan pemidanaan (veroordeling) dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP tersebut dapat terjadi jika:

1. Dari hasil pemeriksaan di depan persidangan

2. Majelis hakim berpendapat bahwa:

3. Perbuatan terdakwa sebagaimana didakwakan jaksa dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum;

4. Perbuatan terdakwa tersebut merupakan lingkup tindak pidana kejahatan (misdrijven) atau pelanggaran (overtredingen).

5. Dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan fakta di persidangan sesuai Pasal 183 dan 184 ayat (1) KUHAP.

6. Oleh karena itu, majelis hakim lalu menjatuhkan putusan pemidanaan kepada terdakwa.

 

Jadi, rujukan majelis hakim dalam memutus perkara adalah surat dakwaan jaksa, bukan surat tuntutan. 

 

M. Yahya Harahap, seorang pakar dalam bidang hukum perdata, hukum kriminal, hukum arbitrase / ADR serta hukum hak milik intelektual, dalam bukunya berjudul Pembahasan Permasalahan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 354) menulis:

 

Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa.

 

Secara normatif tidak ada satu pasal pun dalam KUHAP yang mengharuskan hakim memutus pemidanaan sesuai dengan tuntutan Jaksa/Penuntut Umum. 

 

Hakim memiliki kebebasan dalam menentukan pemidanaan sesuai dengan pertimbangan hukum dan nuraninya, bisa lebih tinggi dari apa yang dituntut.

 

M. Yahya Harahap menyebutkan hakim dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman pidana (strafmaat)yang akan dikenakan kepada terdakwa adalah bebas. 

 

Undang-Undang memberi kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana antara hukuman minimum dan maksimum yang diancamkan dalam pasal pidana bersangkutan. 

 

Pasal 12 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) menegaskan hukuman pidana penjara selama waktu tertentu itu sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya lima belas tahun berturut-turut.

 

Seorang hakim memang memiliki kebebasan dan independensi hakim dalam menjatuhkan putusan, bukan berarti tak ada batasan.

 

Berikut Batasan-batasan kebebasan dan independensi seorang hakim : 

1.Tidak boleh melebihi ancaman maksimal pasal yang didakwakan. Misalnya, Pasal 156a KUHP memuat ancaman maksimal lima tahun. Maka hakim tidak boleh menjatuhkan pidana penjara lebih dari lima tahun kepada terdakwa. Tetapi hakim boleh menjatuhkan hukuman sama dengan atau lebih rendah dari lima tahun. Lihat misalnya putusan MA No. 1953 K/Pid/1988 tanggal 23 Januari 1993.

 

2.Tidak diperkenankan memberikan putusan pemidanaan yang jenis pidananya (strafsoort) tidak ada acuannya dalam KUHP atau peraturan pidana di luar KUHP.

 

3.Putusan pemidanaan itu harus memberikan pertimbangan yang cukup berdasarkan bukti. Dalam banyak putusan, antara lain putusan MA No. 202 K/Pid/1990 tanggal 30 Januari 1993, Mahkamah Agung menyatakan putusan yang kurang pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd) dapat dibatalkan.

 

Misalkan, pengadilan tinggi menambah hukum terdakwa lebih tinggi dari yang diputus hakim tingkat pertama tetapi kurang dipertimbangkan dan dijelaskan alasan menaikkan hukuman. Putusan yang demikian dapat dibatalkan.

 

Jadi bolehkah hakim  menaikkan hukuman selain pidana penjara? Praktik pengadilan selama ini menunjukkan bahwa hakim dapat menjatuhkan hukuman denda atau ganti rugi daripada yang dituntut oleh jaksa. 

 

Dalam Pasal 183 ayat 3 dan 4 Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur bahwa Hakim dalam menjatuhkan putusannya terikat pada surat dakwaan yang dibuat dan diajukan oleh JPU dalam persidangan. 

 

Majelis Hakim dalam melakukan musyawarah untuk mengambil keputusan harus didasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti di dalam persidangan.

 

Begitu juga sebaliknya, Dalam Pasal 191 ayat 1 KUHAP ditegaskan bahwa dalam hal pengadilan berpendapat bahwa perbuatan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas (asas actore non probante reus absolvitur). (*)




Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: