>

Oneshoot: Pejuang Mimpi Tanah Karayan

Oneshoot: Pejuang Mimpi Tanah Karayan

Ari Hardianah Harahap--

RASANYA sakit sekali, bahkan ungkapan verbal pun tak bisa mewakili rasa sakit yang kurasa kini. Air mata yang mengenang di pelupuk mata ini sarat akan sesak yang ku rasa, hidupku hancur. Harapanku tiada, tak kurasa sedikitupun celah kebahagiaan untukku. Ingin ku maki tuhan, pencipta semesta alam yang terkenal akan kuasa dan agung-NYA. Ingin ku caci diri-NYA, karena rentetean cobaan dan masalah yang ia berikan. Aku bahkan tak yakin, apakah diri-NYA peduli pada ku.

Diatas tanah kubur ini, ku menangis, menjerit, mengeluarkan suara paling pilu yang ku rasa selama ini. Ku mengais tanah, berharap yang dibalik tanah ini dapat kembali kepadaku. Memberi sebuah peluk yang hangat kala diriku bersedih, menjadi satu satunya tempat ku pulang kala ku tersesat. Namun dengan mudahnya, tuhan mengambilnya. Memisahkan diriku secara paksa dengannya. Malaikat tak bersayapku telah tiada, dia pergi meninggalkan aku tanpa topangan arah. Dia pergi.

“sudahlah Randa, jangan kau menjadi manusia yang memaki tuhanmu, yang mengingkari penciptamu. Biarlah ibumu tenang disana, janganlah engkau menangis lagi wahai anak dari wanita dermawan yang pernah kutemui.” Ucap Indu, sahabatku sekaligus petinggi di tanah desa Karayan.

Desa Karayan, desa dimana aku lahir dan tinggal, satu – satunya tempatku akan mengenang mendiang ibu, dengan langkah beratku ku tinggalkan tanah pemakaman ini bersama Indu. Di topangnya tanganku dan dibantunya aku berdiri serta memapahku berjalan hingga sampai di rumahku. Masih diam diriku, hilang sudah semangat hidupku, ingin ku pergi menyusul ibu disana.

“Sudah-sudahlah Randa, mendiang kan kecewa melihat dirimu layaknya mayat berjalan, tak ingat kah kau mimpi mendiang beliau. Dirinya ingin melihat putri kebanggaanya ini menjadi orang yang mampu menaikkan derajat keluarganya, yang menaikkan martabat serta kehormatannya di masyarakat.” Ingat Indu akan pesan ibu yang setiap harinya tak pernah lupa ia sampaikan kepadaku.

Mengingatnya tangisku kembali pecah, terisak – isak diriku kembali dan dengan pengertian Indu hanya tersenyum lalu meninggalkan ku sendirian. Indu selalu tahu, bahwa aku tidak membutuhkan sebuah pelukan ataupun kata-kata semangat darinya, yang kubutuhkan hanya waktu untuk merenung dan memikirkannya, menangis hingga aku lelah dan tau bahwa jalanku salah.

Terbangun aku dengan silau matahari yang timbul dari celah dinding rumahku yang terbuat dari daun Ibus, rumah sederhana yang ibu beli dengan kerja keras hasil dari penjualan sayur yang didapat dari sepetak tanah peninggalan nenek dulunya. Hidup sederhana bersama ibu bukanlah suatu cobaan menurutku, apapun waktu yang kuhabiskan dengan ibu adalah hal bahagai yang pernah kudapati, karena itu kehilangan ibu merupakan hal paling berat yang ku alami.

“Randa, sudah bangunkah kau? ini aku, Indu sahabatmu.” Kudengar panggilan dari luar pintu rumahku.

“Masuklah Indu, pintu itu tak ku kunci.” Sahutku dari dalam rumah. Ku lihat Indu masuk dengan sebuah rantang. Segera Indu pergi mengambil piring dan gelas lalu menantanya di depanku, dan setelah selesai dikelurkan Indulah makanan dari rantangnya.

“aku tau, sahabatku ini pasti belum makan. Mari makan bersama Randa.” Ucapnya sambil tersenyum manis. Aku pun hanya menangguk lalu memakan makanan yang dibawa Indu. Di tengah aku makan, Indu menangis. Tangis pertama yang aku dengar dari Indu, begitu pilu dan menyakitkan. Aku yakin, siapapun orang yang mendengar tangis Indu, pasti akan merasa tersayat dan teriris hatinya.

“Dengarlah wahai sahabatku Randa, yang ku anggap saudaraku selama ini, yang ibunya juga ku anggap ibuku. Janganlah engkau berlama lagi di tanah Karayan yang amat kotor ini. Ingatlah pesanku baik – baik wahai saudaraku, yang kini masanya sedang kuperjuangkan dirimu. Nantinya akan tersiur kabar bahwa Indu, gadis dari petinggi desa tanah kotor ini akan menikah dengan pangeran antah barantah yang nantinya hidupnya akan bahagia. Tak usahlah dirimu percaya dengan nyanyia masyarakat yang diterbangkan angina itu, sesungguhnya Indu sahabatmu ini dijual pada pangeran antah barantah itu hanya agar sang petinggi terus menjadi penguasa di tanah kotor Karayan ini.” Ucap Indu sambil menangis.

Aku yang mendengarnya hanya mampu menutup mulutku terkejut dan kulihat Indu mengeluarkan bungkusan kertas berwarna coklat lalu ia Tarik tanganku dan ia letakkan bungkusan itu ditanganku.

“wahai Randa, sahabatku. Ini adalah uang yang sebahagiannya utang mendiang ibuku yang berutan pada ibumu, dan yang sebahagiannya adalah uangku dari hasilku mengajar tari di pandopo desa Karayan. Dengan uang ini pergilah dirimu ke kota, tinggalkan tanah Karayan yang kotor ini, janganlah engkau pulang sebelum engkau menjadi. Dan pulanglah engkau ketika engkau menjadi, jemput aku di tanah hilir tempat ku dan pangeran antah barantah itu. Nantinya saat kau kembali dan masih terdengar suara nanyanyian dan tampilan tarian di pandopo hilir itu tandanya Indu-mu masih hidup dan menangih utangnya untuk dijemput padamu. Bila nanti tak lagi kau dengar nyanyian dan tampilan di Pandopo hilir, itu artinya Indu-mu telah tiada dan ikhlas akan permintaanya, bergegaslah dan pergilah.” Ucap Indu. Tiba – tiba dengan cepat ia menarik tanganku menyuruhku untuk berdiri. Dikumpulkannya pakaianku di satu tas, dan diambilnya selendang lalu ditutupinya wajahku. Dan dengan cepat dirinya menarikku keluar dan mengajakku berlari ke terminal bis yang lumayan jauh dari rumahku.

Dengan nafas terenagah-engah sampailah kami di terminal bis, segera ia berikan tiket dan memelukku singkat lalu mendorong tubuhku sampai masuk pada bis. Belum lagi, diriku masih bingung dan terkejut dengan rentetan kejadian ini. Secara tiba – tiba bis yang ku masuki ini bergerak menjauhi Indu yang melambaikan tangannya padaku dengan senyuman manisnya, anehnya Indu tetap mengeluarkan air mata tiada hentinya. Aku linglung, Karayan itu tanah kelahiranku, tanah suci yang aku banggakan. Lalu mengapa Indu datang dan menyuruhku pergi dengan mengatakan bahwa tanah Karayan itu kotor, pangeran antah barantah dan lainnya yang membuatku semakin tak tentu arah arus pikirannnya. Hingga sampailah diriku di kota dengan segala takdir yang mengikatnya.

Lima tahun, sudah lima tahun aku hidup di kota. Sudah kulewati yang namanya masa “sampah” dalam hidupku di kota. Kiniku telah menjadi, ku sudah siap menjemput Indu di tanah Karayan. Sudah pula kutunaikan mimpi mendiang ibuku yang ingin martabat dan kehormatannya dijunjung oleh masyarakat, anaknya telah sukses, ia telah menjadi sebuah kesuksesan di tanah perantauan.

Tak sabar ku mendapati senyum Indu nantinya setelah ku sampai, dengan mobil sedan putih ku masuki tanah Karayan, menuju tempat pertama ku adalah rumah yang ku tinggali dulunya. Akankah rumah itu masih ada. Selama perjalanan penduduk Desa Karayan terus mengamati dan melihat diriku hingga berhenti di depan rumahku. Rumah itu masih sama, tiada yang berubah, hanya sedikit rumput liar yang tumbuh di halamannya. Masyarakat desa terkejut saat mendapati bahwa diriku Randa, yang ternyata datang.

Rumah ini tampak terawat, dan saat kulangkahkan kaki kudapati seorang gadis kecil manis yang kelur dengan keranjang bungkusan nanti yang kuyakini untuk dijual nantinya. Ia terkejut dan menjatuhkan kerangjangnya. Segera ku bantu dan ku pungut bungkusan nasi yag terjatuh dari keranjangnya begitupun dengan gadis kecil itu. Tak lama gadis itu menangis dan berkata “wahai yang datang dari jauh, apakah dirimu Randu sahabat yang sudah dianggap ibuku Indu saudaranya.” Tanya gadis itu. Aku menangguk. Gadis itu jatuh tersimpuh sambil terisak lalu diajaknya aku masuk dan disajikannya aku minum, lama kami terduduk dan terdiam tiba tiba mengalirlah kisah akan Indu-sahabatku dari Kanaya, gadis manis yang dilahirkan oleh Indu.

“ibu bilang nantinya akan ada seorang yang datang dari jauh, yang ia anggap saudaranya, yang ibunya juga ibunya ibu. Saat orang yang datang dari jauh itu tiba, ibu menyuruhku untuk menyampaikan sebuah kisah tentang gadis pejuang dan pangeran antah barantah.” Ucap Kanaya. Aku pun hanya diam dan menangguk menyuruhnya untuk melanjutkan kisah yang Kanaya maksud. Mengalirlah cerita tentang gadis pejuang dan pangeran antah barantah.

Gadis pejuang itu adalah gadis yang berjuang dari penderitaan yang diberi oleh pangeran antah barantah. Gadis pejuang itu adalah gadis yang dijual oleh ayahnya untuk mendapat sebuah gelar dan jabatan. Dan ayahnya gadis pejuang itu mengorbakan gadis – gadis lainnya juga, bukan hanya diri gadis pejuang. Gadis pejuang memiliki sahabat yang sangat ia cintai, yang sudah ia kasihi seperti saudaranya sendiri. Gadis pejuang tak ingin sahabatnya juga ikut hancur, ia perjuangkan masa depan sahabatnya dengan menyuruh sahabatnya pergi dari tanah kelahirnnya. Itulah yang aku simpulkan dari kisah yang diberitahu oleh Kananya. Setelah selesai tiba tiba Kanaya pergi lalu kembali dengan sebuah kertas yang sudah kusam.

“Ini adalah surat dari ibu,” Ucap Kanaya lalu Kanaya pergi ke luar dan duduk di halaman depan dan tiba tiba menyanyi lalu menari mirip sekali dengan Indu, kanaya pun seolah memberi ku waktu sendiri untukku dalam membaca surat ini.

Kepada Randa, sahabatku.

 

Telah sampai sudah surat ini ditanganmu wahai saudariku, dengan begitu kuyakin telah menjadi sudah sahabatku satu ini. Indu yakin bahwa kau sudah bertemu dengan putri ku, malaikat kecilku Kanaya. Bagaimana kisah gadis pejuang dan pangeran antah barantah yang diceritakan Kanaya kepadamu wahai Randu yang hidupnya kini telah baik dan penuh berkah. Randu, gadis pejuang itu adalah aku. Maaf tak sempat menjelaskan kepadamu langsung wahai sahabatku. Ingatkah kau sahabatku akan tagihan janji yang dulu pernah ku ucap. Jikalau kau masih mendengar nyanyian dan tampilan tarian di Pandopo hilir maka lunaskanlah, bawa aku pergi dan bebaskan aku dari penderitaan yang amat menyakitkan ini. Selamat sahabatku Randu, kau juga mampu tunaikan permintaan dari ibumu yang telah kuanggap sebagai ibuku juga. Randu, aku yakin kau dapat melihatku dengan sebuah nyanyian dan tampilan tarian dari malaikatku Kanaya bukan.

 

Sahabatmu, Indu

 

Tangisku pecah setelah membaca surat yang ditinggalkan Indu untukku, dan kudengar nyanyin Kanya dengan tampilan tarian persis memukau layaknya Indu dulu. Disana di samping Kanaya, ku lihat Indu tengan tersenyum melihat Kanaya lalu melihatku mengangguk dan mengangguk seolah mengatakan “Ya” akan pada setiap keputusan yang ku ambil untuk langkah berikutnya, dan aku tau ini masih panjang ku hapus air mataku dan ku ikuti tarian Kanaya, akhirnya setelah sekian lama tarian di Tanah Karayan ini kembali mengalir, walau tanah Karayan ini teramat kotor menurut Indu, setidaknya sepetak tanah di halaman rumah ini tetap lah tanah perjuanganku.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: