>

Bagian 12: “Andai Kita Punya Rasa yang Sama”

Bagian 12: “Andai Kita Punya Rasa yang Sama”

Ari Hardianah Harahap--

***

Kepergian Sundra memberikan euphoria yang berbeda bagi Sundra dan Sandra, tadinya yang masih bisa tertawa dan menggoda satu sama lain, kini terjebak dalam hening yang begitu lama. Biasanya Sandra akan bercerita harinya, bagiamana ia akan terasa sangat sedih hanya dengan melihat bunga yang dirawatnya selama seminggu harus layu, atau bagaimana ia bisa begitu merasa bahagia hanya ketika Sadap berusaha mengiriminya gombalan jayus yang tak ada habisnya.

Sadap menjadi orang pertama yang memutus keheningan, “mau gue temenin nemui Arisa atau pulang?” Tanya Sadap.

Sandra melirik Sadap dari ekor matanya, sampai kapan laki – laki ini akan mengekorinya dan bertahan pada prinsipnya jika hubungan mereka masih bisa dipertahankan. Sandra memang masih mencintai Sadap, namun untuk bersama, sudah Sandra katakan Sandra tidak bisa lagi untuk bertahan lebih lama.

“Gue bisa sendiri” Jawab Sandra. Tidak ada lagi aku – kamu, atau panggilan romantis yang tersemat satu sama lain, tidak ada lagi pandangan lembut dan senyum manis yang biasa Sadap dapati setiap netra mereka bertemu. Sandra menjadi sosok yang asing untuknya, apa memang sudah tidak ada harapan diantara kedunya, atau Sadap yang terlalu buta untuk mengenal Sandra selama mereka bersama.

“Sandra, ayo balik di hari dimana kita bisa ketawa dengan rasa yang masih utuh” Bisik Sadap.

Sandra menatap Sadap dengan mata berkaca – kaca, raut wajahnya seolah terluka, luka yang sangat dalam bersamaan dengan sakit yang begitu hebat, “harusnya kalo kamu mau, kamu nggak akan pernah se-egois itu Sadap. Kita nggak akan jadi kita, ini yang terkahir, jangan berharap apa – apa lagi, kalo kamu nggak mau liat perempuan ini luka dan sakitnya lebih dalam.” Ujar Sandra menunjuk dirinya, kemudian berbalik meninggalkan Sadap dengan raut nelangsa.

“Pada akhirnya, epilog lo sama sama bahagia tapi bukan dengan dia,” Sundra datang dengan tiba – tiba merangkul Sadap sambil tertawa lebar.

“Sakit ya Ndra?” Tanya Sadap.

“Jangan tanya gue, karena gua di posisi mau nyebut salah satu epilog aja nggak bisa, mau sakit tapi belum apa – apa, mau bahagia, nggak jelas kudu dari mana.” 

Dan hari itu lepas tawa dua orang pria yang romansanya begitu klise tapi dramnya terlalu rumit dibuat semesata hingga lupa rasa – rasanya bahagia karena jatuh cinta itu seperti apa, dan terluka karena patah hati itu sesakit apa memangnya?

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: