>

Bagian 11: “Approved”

Bagian 11: “Approved”

Ari Hardianah Harahap--

“Gue minta maaf,” Ujar Sundra, keduanya berbicara dengan posisi berpelukan mereka, berbagi hangat juga rasa nyaman satu sama lain.

“Hmm…gue maafin,” Balas Arisa.

“Semudah itu?”

“Terus lo maunya gue maafin yang gimana? Yang harus bayarin gue nonton tiket konser gitu?!”

“Kalo gue tajir, nggak masalah. Mau ke mars juga gue jabanin, apa beli planet sekalian?” Tanya Sundra jahil.

“Masalahnya lo mahasiswa akhir yang masih stress sama skripsi, jangankan mau ke Mars, mikir noh duit loh mau ngeprint revisian skripsi, ngadi – ngadi nih bocah.” Jawab Arisa ketus.

“Sensi amat sih Sa,” Sundra terkekeh, “Maafin gue ya, Sa.” Ulang Sundra, kali ini ia melepas pelukannya, menatap wajah Arisa sepenuhnya.

Arisa tersenyum lebar, “Gue yang childish, padahal lo tetap datang ke kampus buat jemput gue, emang gua aja yang kurang sabar nunggunya.” Jelas Arisa.

“Gue telat banget waktu itu,” Potong Sundra, ekspresi rasa bersalahnya terpatri jelas.

“Dahlah gue mager mau bahasanya,” Arisa segera menutup topik mereka, ia hanya butuh Sundra, dan topik ini akan menjadi terkahir kalinya mereka bahas. Sudah sama – sama dewasa, lalu mengapa pengertian satu sama lain saja sulit, toh, harus bisa berlogika, sama – sama manusia, sama sama punya urusan dan kehidupan.

Arisa melalukan peregangan sebentar, berlari lari kecil di tempat, “gue jalan pulang aja. Nggak usah ngebantah, mood gue lagi bagus.” Kata Arisa cepat, tanpa niat berbalik ia tinggalkan Sundra. Namun, di beberapa langkahnya, ia berhenti, kemudian berbalik mengurungkan niatnya yang ingin pergi begitu saja. Sunda tersenyum hangat, menunggunya, yang dibalas Arisa dengan senyum tipis.

“Ndra, tungguin gue ya, tunggu gue selesai, sampai hari dimana rasa itu nggak sia – sia.” Ujar Arisa, kemudian ia tersenyum dengan merekahnya, berbalik badan dan melambaikan tangan. Meninggalkan Sundra dengan wajah pias, juga tak menyangka. Apa itu sebuah permintaan, pernyataan, atau ungkapan dari Arisa? Yang pasti Sundra merasa punya kesempatan untuk melangkah, jika dulu ia pikir ia bisa bahagia tanpa harus bersama, mengapa harus menyia – nyiatan cinta yang bisa tertaut, lagipula Arisa tenang saja, bahagianya Sundra itu jika Arisa ada, tanpanya Sundra hampa. (bersambung)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: