Bagian 11: “Approved”
Ari Hardianah Harahap--
“Kalo aja masalah hati tu segampang mikir lpj akhir hima yang bisa joki, serius gue pengen berhenti dari drama lovey-lovey yang episodenya kalah panjang sama sinetron indonesia”
>>>***<<<
Arisa tidak pernah tahu, sejak kapan ia mulai bergantung dengan Sundra. Sejak kapan kehadiran laki – laki urakan itu menjadi pelengkp harinya, sejak kapan kehadira Sundra menjadi suatu yang sangat di nantinya. Sundra tetap seperti biasanya, masih terus mengintili Arisa, tertawa bersama Sandra dan juga Sadap, bedanya Sundra diam saat bersamanya, tidak satupun ada kata yang terlontar di antara mereka, padahal jika hari biasanya, mereka berdua akan menjadi dua sejoli yang mengantarkan tawa paling keras di sepanjang jalan sore sepulang kampus.
“Lo kalo jadi diem, buat gue klepek – klepek Ndra,” Arisa menyandarkan dirinya dengan nyaman di punggung lebar Sundra, dapat Arisa rasakan punggung pemuda itu sesaat menegak tegang. Arisa itu definisi manusia sekalinya dibolehkan, esoknya semakin menjadi. Dari bersandar di punggung Sundra, hingga ia melingkarkan lengannya di perut Sundra, memeluk Sundra dari arah belakang. Dagunya ia taruh di atas pundak Sundra, dari kaca spion motor ia lihat wajah Sundra yang memerah, sejak kapan menjahili Sundra menjadi semenyanangkan ini?
“Lo kapan beli helm bogonya deh Ndra? Makin ganteng aja cokibar.” Arisa terkekeh pelan, senyumnya tampak lebih mentereng dari lampu di sepanjang jalan mereka lewati. Arisa mendusal seenaknya di tubuh Sundra, matanya terpejam nyaman, ekstensi keberadaan Sundra memang selalu menangkan, terasa candu untuk terus didekap, hanya pada Sundra Arisa merasa dirinya utuh baik jiwa dan raga, seolah pemuda itu terus memberi racun tak kasat mata yang membuat Arisa terus ketagihan bersamanya, “Ndra, jangan pergi, kalo lo pergi, gue mati.” Bisik Arisa pelan di tengah berisiknya klakson kendaraan sore itu.
Biasanya Sundra akan menyukai jalan – jalan sorenya bersama Arisa, melepas penat sesaat setelah digempur habis – habisan dengan materi yang terus saja masuk kuping kanan keluar kuping kiri, padahal sudah diperhatikan dengan seksama, kantuk pun ditahan mati – matian. Tapi, seolah otak menolak kerja sama dalam mencerna setiap mata kuliah, Sundra hanya bisa pasrah dan terus meratapi nasib nelangsanya di kos, untuk mengulang materi yang mau tak mau, suka tak suka, harus bercokol di benaknya.
Angkringan pinggir jalan akan menjadi spot favorit Sundra dan Arisa, tidak peduli hari itu mereka ada dalam fase ‘mahasiswa sekarat akhir bulan’, keduanya tidak keberatan untuk menghabiskan uang mereka untuk jajanan ringan yang di jual sepanjang trotoar, mulanya cilok dua ribu, kemudian seiring langkah kaki dan banyaknya pembicaraan tiada henti tanpa sadar masing – masing dari mereka hanya akan menyisakan uang untuk membeli mie sesampainya di kos. Namun, hal tersebut selalu menyenangkan untuk diulangi, karena hanya dengan begitu keduanya merasa berbagi afeksi yang nyata, waktu yang dihabiskan berdua, bahkan tanpa kata sekalipun semuanya terasa sangat sempurna.
Terkhusus hari ini, tidak ada guyonan yang bisa Sundra lemparkan seperti biasanya, masing – masing dirinya dan Arisa larut dalam benak masing – masing, hingga ia rasa ada yang membebani punggungnya, kemudia disusul tangan yang melingkar di perutnya, dan terkahir sebuah dagu yang tersampir di bahunya, suara itu pelan, berbisik dengan sangat manis, “Ndra, jangan pergi. Kalo lo pergi, gue mati.” Degup jantung Sundra meningkat, ada rasa puas yang menyelimuti hatinya, seoalah ada yang terbalas dalam dirinya. namun, getir itu juga menghampiri disaat yang sama, menyelimuti dalam kelabu yang bukan pertama kalinya lagi datang menghampirinya.
Katanya jika siap jatuh cinta, siap menerima apa adanya. Tapi, Sundra tidak bisa menerapkannya dengan baik, ia jatuh cinta pada Arisa, memberi seluru hati dan perasaanya. Arisa ada padanya, raga perempuan itu memeluknya, hanya saja hati perempuan itu masih ada disana, ditempat dimana bukan ia pemiliknya.
Sundra menepikan motornya, sengaja ia berhentikan di taman yang tak jauh dari kos-nya Arisa, setidaknya jika beberapa rangkap peristiwa di belakangnya terjadi, perempuan itu tidak susah payah untuk pulang, sebab hanya perlu berjalan beberapa meter dari beberapa meter saja. Bahkan, disaat keduanya masih dalam ketidakjelasan, Sundra masih saja menjadi sosok yang paling perhatian, lalu Arisa kapan sadarnya? Laki – laki seperti Sundra ini kenapa masih disia – siakan?
Sundra membenahi poni dan anak rambut yang ada di wajah Arisa, “Lo kalo udah sore gini baru keliatan aslinya, jelek ternyata. Kalo pagi aja kinclong, shining, shimmering, splendid.” Sundra membuka suaranya, turut mengundang gelak tawa Arisa.
“Tolong logikanya dipake, pagi tu masih seger, satu – satunya yang gue hadapi cuma air dingin sama rasa malas, kalo udah siang ada polutanlah, apalah, itulah, salah satu yang paling berpengaruh buat makeup gue luntur itu ya ketemu manusia kayak lo gini.” Balas Arisa sengit, berbicara cepat sambil mendongkak, dalam hatinya menggerutu, padahal tingginya dan Sunra hanya berbeda lima centimeter, lalu mengapa rasanya Sundra lebih tinggi berlipat kali dibanding dirinya.
Sundra mencubit kedua pipi Arisa kuat, kemudian menarik perempuan itu dalam peluknya, ia benamkan wajahnya pada pundak pujaan hatinya itu, Sundra memeluk erat, berharap Arisa tahu betapa resahnya ia dari semalam hingga kini tentang banyak hal, khawatirnya ia tentang hubungan mereka yang nantinya tak seperti biasanya. Resahnya ia tentang apakah Arisa pulang dengan selamat atau tidak? Atau seremeh apa perempuan itu masih saja dengan kebiasaan tidur di jam tiga paginya.
Arisa tersenyum lembut dibalik pelukan mereka, ia usap bahu Sundra berkali – kali dengan pelan, berusaha memberi rasa tenang pada pria yang kini memeluknya dengan gemetar. “Kalo biasanya Cuma dua puluh detik, hari ini gue bolehin sampe lima menit.” Ujar Arisa saat ia merasa pelukan padanya melonggar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: