>

Bagian 3: “Rasanya Indah, Kisahnya Sempurna, dan Hatinya Luka”

Bagian 3: “Rasanya Indah, Kisahnya Sempurna, dan Hatinya Luka”

Ari Hardianah Harahap--

“Jangan tutup mata lebih lama ya, sebab yang ada tidak selalu bisa punya rasa yang sama, yang menetap kadang juga tak bisa tinggal selamanya. Jangan, hanya karena ia yang kamu cinta, kamu lupa tentang seseorang yang hatinya patah. Namun, tetap bertahan agar kamu senantias tertawa tanpa luka”

-Sundra, Tolong peka please!-

>>>***<<<

Bahagia Sundra itu tidak pernah muluk – muluk, bisa makan makanan yang enak, tidur yang nyenyak, dan menghabiskan sisa harinya bersama Arisa, maka tidak akan ada yang mengalahkan kenikmatan dunia milik Sundra. Sejam yang lalu, hari masih cerah saat Sundra dan Arisa tertawa di tengah teriknya matahari menuju pangkalan Mie Ayam langganan mereka. Dan tiba – tiba, langit menghitam tanpa aba – aba, rintik air mulai turun, terpaksa keduanya menepi di pinggir toko lama yang sudah tutup dengan semangkok Mie ayam yang belum habis sempurna. Keduanya duduk bersila, menikmati hujan, dengan sisa – sisa uap hangat dari segelas teh milik mereka.

Yogjakarta itu kota indah, setiap sudutnya selalu punya hal untuk dikenang dalam berbagai masa, terutama Jalan Malioboro, yang selalu menjadi saksi berbagai kisah manusia, sepasang kekasih yang dimabuk cinta, keluarga yang menghabiskan malam dengan suka cita, menyatu dari berbagai sudut dalam sebuah kotak cerita. Sundra pernah berandai – andai, akan menyenangkan saat rasanya terbalas oleh Arisa, menikmati setiap sore berkeliling Yogyakarta kemudian menyisakan malam yang hangat di Malioboro, mengomentari setiap hal yang terlihat, tertawa tanpa alasan yang jelas, kemudian berpisah dengan mereka yang masing – masing dimabuk cinta. Namun, rasanya mustahil, Sundra akan tetap menjadi Sundra, sahabat Arisa, tidak lebih. 

“Dari banyaknya kota kenapa harus jogja?” Tanya Sundra tiba – tiba, mangkok keduanya tanda, hanya tersisa kuah – kuah yang tak lagi dapat mereka seruk dengan sendok. Ada jeda sesaat yang terasa begitu kentara di keduanya, entah apa isi kepala Arisa, hingga butuh waktu yang cukup lama untuk menjawab pertanyaan asal Sundra.

“Takdir?” Jawab Arisa tidak yakin. Sundra menaikkan sebelah alisnya, menatap Arisa dengan raut bingung. 

“Kok kayak nggak yakin jawabnya?” Tanya Sundra lagi, yang dibalas Arisa dengan acuh, menaikkan kedua pundaknya tanda ia memang tak tahu, tidak ada yang terlalu istemewa di jogja baginya, sama seperti kota – kota lainnya di Indonesia, Arisa bak manusia terbawa arus, dan Jogja menjadi kota yang membuatnya berhenti untuk singgah.

“Kalo lo sendiri kenapa harus jogja?” Tanya Arisa kembali, Sundra tampak berpikir sesaat. 

“Karena bali nggak punya jalan maliboro.” Jawab Sundra. Arisa mengangguk, menyadari jika Sundra juga bukan orang asli di Jogja, kebiasaan laki – laki disampingnya itu membuat spekulasi orang – orang jika Sundra benarlah orang lokal.

“Bali punya seminyak, siapa yang nggak mau kesana coba?” Ujar Arisa, Sundra mengangguk singkat.

“Tapi tetap aja nggak se-otentik jalan malioboro,” Jawab Sundra.

“Are you crazy? Bali is a very authentic island, even foreigners think it is a country!!” Arisa berujar dengan raut kagetnya. Menangkup wajah Sundra, menekan kedua pipi Sundra keras, membuat Sundra terkejut dengan Gerakan Arisa yang tiba – tiba.

“Ya, gue Sukanya jogja bukan bali!” Balas Sundra, Arisa mendengus, “Terserah!” Balas Arisa tidak peduli.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: