The End: “Akan Selalu Jadi Akhir Yang Menyenangkan”

The End: “Akan Selalu Jadi Akhir Yang Menyenangkan”

Ari Hardianah Harahap--

I wish I didn’t love you, it’d be easier, dulu tidak peduli apapun yang dilakukan Reno hanya untuk membuat Riana mampu berdamai dengan keadaan, Riana akan acuh, mengurung dirinya sendiri dalam kecewa, tidak peduli hatinya terus saja merasa sakit, luka – lukanya semakin parah, dan tangisnya semakin deras. Riana dengan keras kepalanya selalu susah untuk dikendalikan.


yamaha--

“Jadi apa yang ngebuat lo berubah pikiran untuk damai sekarang?” Pertanyaan itu meluncur bebas dari mulut Sandra. Budi yang ada di sampingnya menyikutnya, memberi kode untuk tidak bertanya lebih banyak dan lebih jauh, karena mereka belum tau apakah Riana benar – benar sembuh dari luka batinnya atau sekedar kepura – puraan yang selalu ia tunjukkan pada dunia.

Riana tertawa, tawa yang begitu lega sejak terkahir kali ia tertawa dengan suasana hati yang berbuncah bahagia, “Kalo dengan tidak pernah mencintai dia jauh lebih mudah, berarti gue cukup mencintai dia, karena gue nggak perlu susah – susah untuk lupa, biargimanpun nanti rasa ini pasti bakal pulang, untuk saat ini let it flow aja, gue nggak mau menyuruh diri gue untuk terus mundur, tapi juga nggak akan pernah maju, karena gue tahu itu nggak akan bisa, jadi ya gitu deh.”

Sandra menatap Riana berkaca – kaca, setitik air mata jatuh di pipinya, ia mengusapnya cepat. Merentangkan kedua tangannya lebar, “Peluk gue, sahabat gue dewasa banget!” dan Riana memeluk Sandra dengan erat, tawanya masih menggema, hari yang benar – benar bahagia.

“Let’s go girl, kita nggak mau ngelewatin resepsi si boss kan.” Budi dengan wajah cemberutnya menyela. Tampak iri dengan para sahabat perempuannya yang tengah berpelukan seperti telletuebis, ingin ikut rasanya. Namun, disaat yang sama. Budi juga yakin Sandra tidak akan segan – segan melempar silleto merah sepanjang 15 cm itu ke arah kepalanya.

“Let’s go go go!” Teriak ketiganya bersemangat.

Hari itu Riana temukan dirinya kembali, dalam sapa ceria yang sudah ia kubur lama. Ia gapai kembali serpih – serpih yang tersisa, tidak banyak memang, tapi terasa begitu berarti. Sebab ia tak perlu semua untuk memulai dari awal, yang inti – intinya saja, sebab ia hanya perlu belajar, untuk tak mengulang yang telah lalu.

“Bahagia ya, sampai jumpa di tawa yang paling lega.”  (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: