Bagian 9: “Stuck Di Zona Nyaman”

Bagian 9: “Stuck Di Zona Nyaman”

Ari Hardianah Harahap--

“Susah ya mau jadi diri sendiri, sebab apa adanya dan sederhana dibilang ia yang tak mampu biaya, diberlakukan seperti apa yang diminta, dibilangnya kita sok kaya, jadi manusia mau apa sih?”

-Jingan

>>>***<<<


yamaha--

Bian tidak pernah tahu jika ekssitensinya dan teman – temannya diakui oleh semua orang, mereka dicari juga dibacarkan layaknya most wanted di sekolah, padahal mereka tidak lebih dari empat anak anak laki cupu dan pecundang, yang ditanya tentang asrama ya begitu – begitu saja, asal sang pujaan bahagai. Yang jika ditanya tugas sekolahnya, juga tak lebih dari selayaknya dan sebiasanya murid lainnya, kecuali Jinan yang memang selalu jadi luar biasa, kapanpun dan dimanapun. Pesona jenius memang selalu berbeda.

“Orang – Orang tahu kita?” Tanya Bian, padahal hanya konten tiktok di akun iseng milik Jingan yang mereka buat asal – asalan sekedar membunuh tentang waktu luang, yang nyatanya malah membuat kepopularitasan mereka berpesat banyak. Jika itu orang lain, mungkin mereka akan tertawa bahagia, menjadikan kesempatan langka ini agar bisa berteman dan dikenal oleh siapa saja, memanfaatkan privilege yang tiba – tiba ini, sebab kesempatan tidak datang dua kali pada orang yang sama. berbeda dengan empat pemudah yang kini berwajah pias, satu – satunya yang mereka inginkan kini adalah kabur sejauh mungkin dari banyaknya tangan manusia yang ingin menggapai mereka layaknya zombie, Jingan yang lebih dulu memilih mundur.

Jingan memang tampan, alamat pentolan sekolah dan incaran wanita, dulunya lebih dulu merasa terkenal, siapa yang tak mengenal Jigan si brandal sekolah mereka. Hanya saja, Jingan tidak pernah ingin mengulangi laginya, ia sudah menemukan zona nyamannya, tidak ada lagi kata – kata yang menghakimi secara sepihak, tidak ada lagi ya yang selalu merasa terpaksa mengikuti segalanya hanya demi imej dan pamor yang tidak ada gunanya. Jingan lelah, dan sebab itu menikmati hidupnya yang menjadi pecundang sederhan dan apa adanya, dibanding petarung jalanan yang taka da artinya.

Berbeda dengan Jinan, ia terbiasa dengan sorot dan atenisi, namun orang – orang urung mendekatinya sebab ia terkenal dengan temperamental dan kata – kata judesnya. Dulunya ia ingin, menjadi bagian yang seperti ini, dikenal hampir seluruh penghuni sekolah, menjadi panutan dan inspirasi setiap semua orang. Namun, bertemu dengan Bian, Sandi dan Jingan mengubah sudut pandangnya tentang glamor sebuah kepopuleritasan. Dipenuhi banyak ekspetasi orang – orang juga sangat tak mengenakkan, bagaimana satu demi satu kata kata dari setiap manusia menyangkut dipundak kita dan harus kita pikul kemana – mana, menjadi beban di setiap langkah. Dan Jinan tahu, pecundang bukan berarti tak menang, bukan berarti kalah, ia hanya belum, stuck di zona nyaman lebih lama tidak masalah, selama kamu masih menjadi diri kamu yang biasanya yang apa adanya. Sedangkan Bian dan Sandi hanya diam mencerna, dan keduanya kompak menyimpan dendam pada Jingan.

“Jingan! Gue bantai ya pala lo! Sini!” Kesal Sandi.

“Jingan! Semua gara – gara lo!” Teriak Bian menyusul.

Hari itu, ingatkan Jingan untuk menulis surat wasiat setidaknya pada mamanya sebab ia seringkali durhaka sebelum ia tinggal nama oleh dua sahabatnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: