Metaverse Of Kita Jadi Manusia: “Nggak Kenal Nggak Sayang”

Metaverse Of Kita Jadi Manusia: “Nggak Kenal Nggak Sayang”

Ari Hardianah Harahap--

“Lah katanya mau cinta, coba dekat sini dulu baru tau kalo ternyata aku ini manusia yang kamu kenal atau sekedar bual yang kamu dengar”

>>>***<<<

Namanya Bian, Sabian Sanggara lengkapnya. Sok cool kalo Sandi bilang, sebab Bian bukan tipe manusia yang bisa menilai dirinya sendiri. Mungkin, jika saja manusia sesat dan setengah gola seperti Sandi tidak pernah merecoki kehidupan Bian, maka perputaran kehidupan Bian hanya akan seputar, pergi, pulang, makan dan tidur. Apa itu sosialisasi? Apa itu ramah tamah? Apa itu yang manusia lainnya? Yang Bian tahu hanya dirinya dan sebuah alasan mengapa ia harus tetap diam dirumah tanpa melakukan apapun yang menyusahkannya. Bian dan sejuta alam mimpinya memanglah ultimate sekali bagi Sandi. Bian itu tiada duanya, sebab hanya ia satu – satunya yang manusia yang tidak pernah mau menjadi manusia, katanya bukan ia tak bersyukur, hanya saja menjadi batu tanpa melakukan apapun, hanya menunggu air selesai menetesinya, itu tampak lebih menyenangkan dibanding harus hidup diantara hirup pikuknya kehidupan yang terlalu rumit untuk ia cerna, jika saja bisa, ingin sekali Sandi daftarkan Bian sebagai pencetak rekor MURI, manusia yang terus mati segan hidup tak mau.

(Ini kayak gabut karena kehilangan ide :D)

Sandi, Archandra Sandi Pranomo. Manusia setengah waras yang setengah hidupnya ia habiskan untuk menyuruh Bian bersosialisasi, dan menjadi kang angkat galon bundanya Bian. Nasib di rumahnya bersama Mama dan dirumahnya Bian bersama Bunda Bian juga tak berbedah jauh, kalo tidak jadi tukang kebun yang jadi tukang kang galon, untuk Mama dan Bundanya Bian tidak suka utang galon, mau ditaromana muka Sandi, sebab ia bisa mendapatkan sepuluh kupon gratis dengan wacana PDKT anak juragan Depot, hemat 4 ribu untuk satu galon itu lumayan kawan – kawan. Jika Bian adalah manusia yang no drama club, maka Sandi adalah seratus persen kebalikan Bian, jika tidak ada drama bukan Sandi namanya.

“lo bakat emang jadi artis, soalnya hidup lo kalo nggak sensasi ya ngantis” Ulti, langsung dari Jinan, si master olimpiade.

Ibarat kata jika Bian dan Sandi adalah ayam kampung yang beda warna, maka berbeda dengan kedua pendatang di kisah mereka, Jinan si maestro matematika dan Jingan a.k.a bajingan alisan Jee-Wan si oppa Kor-Indo yang terlalu tampan. Jinan Anggara, kalo kata Bian, Sandi dan Kawan – kawan Jinan itu bau bawang, wathasi siap menyerang setiap saat dan bertahan kapan saja, definis manusia cover depan belakang bedanya minta ampun, ampe terjungkal jungkalpun nggak nyangka kalo Jinan dengan segala rumus yang terlihat keren dan terlalu handal, tak lebih dari seorang manusia cupu tsundere yang tak bisa tidur tanpa boneka beruang ungunya. Dan menyimpan kisah romansa cinta bertepuk sebelah tangannya, pada rekan sejawat olimpiadenya, padahal yang dipuja sudah dipelupuk mata, apa sih yang tidak bisa dicapai semudah mengucapkan kata jika aku suka. Setia boleh, tapi tidak menjeremus cinta yang harus berpisah bahkan sebelum dicoba.

Jika Jinan selalu merasa cukup dengan cinta sebelah pihaknya, maka berbeda dengan si tampan paripurna kita yang katanya sehari tidak menklukan wanita bukan Jee-Wan namanya, laki – laki bajingan yang suka bergonta ganti wanita, hidup dengan gaya budaya barat yang lama memang susah untuk dirubah, tapi jika boleh bilang, Jee-Wan adalah manusia yang selalu saja penuh cinta dan kejutan yang tiba – tiba, sebab tanpa kata saja semua orang tau, Jee-Wan atau yang kerap disapa Jingan itu tidak pernah berkahir dengan luka di hati wanita, katanya ia hanya sedang menjelajah dan singgah sedikit lebih lama di beberap tempat, jika saatnya ia sudah harus berangkat, maka tidak boleh ada yang berubah, tentang rasa hingga ia akhirnya tak bisa lebih lama lagi untuk singgah. Dan pada akhirnya, Jingan hanya satu dari banyaknya manusia tulus yang mendamba cinta yang tulus pula, sayangnya ia selalu berakhir tragis dengan sebuah tangis, sebab alih alih mendapat cinta, ia malah mendapat luka, jauh lebih banyak dari sebelumnya.

Dan hingga mencapai akhir nanti, keempatnya masih sama, masih dengen gemuruh pikirannya, ternyata menjadi manusia itu susah ya? (bersambung)

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: