Bagian 2: “Ternyata Susah Ya Jadi Manusia?”

Bagian 2: “Ternyata Susah Ya Jadi Manusia?”

Ari Hardianah Harahap--

“Semua manusia itu boleh dipercaya, tapi tidak semua pantas untuk dipercaya. Semua manusia boleh berharap, tapi tidak semua manusia bisa tanggap. Sebab namanya manusia, kerap kali hinggap kemudian lenyap, tanpa tatap juga cakap”

>>>***<<<

P.s: Dengerin lagu dunia tipu tipu milik yura yunita, maaf ya ini belum bisa masuk ke cerita Bian, sandi, Jee-Wan sama Jinan, karena manusia kayak Sandi sama Bian itu masih asyik – asyiknya hehe :D


yamaha--

Bian pernah dengar Sandi menangis, padahal setahu Bian orang paling ceria dan paling pantang mengeluarkan air mata itu adalah Sandi, ada saat dimana Bian menangis kencang, sekedar menangisi dirinya yang gagal mendapatkan nilai delapan puluh dalam pelajaran matematika sebab hanya lingkaran bulat merah yang ia dapatkan dibukunya, tanda cinta dari gurunya. Walau itu sudah lama dan dulu sekali, bukankah itu hal yang terlalu remeh temeh untuk ditangisi, sebab teman sebayanya hanya tertawa, seolah hal itu akan menjadi hal biasa kedepannya dan lupa bukanlah sebuah perkara yang terlalu sulit untuk dilakukan oleh mereka.

Hari itu Sandi juga mendapatkan hal yang sama, tanda cinta dari guru untuk Sandi teramat persis dengan miliknya. Bian tau, rumus dan Sandi bukanlah dua hal yang bagus untuk disatukan sebab Bian selalu tau jika hasilnya akan selalu sama, sama hancurnya. Namun, saat itu ia masih berharap, sebab dari sekian banyak manusia, hanya Sandi yang mengulurkan tangan untuk membantunya. Dan dilain hari, kala peristiwa itu menghampiri, Bian harusnya percaya, jika manusia itu tidak semuanya pantas dan mampu untuk dipercayai.

“Ayo kerjain sama – sama nanti, aku udah belajar biar kita nggak dapat cinta lagi dari Bu Maya,” Sandi mengajak Bian dengan semangat, diantara lepek dan basah baju merah putihnya, ia akan belajar bersama sahabat terbaiknya, hanya agar Bian terus menjadi temannya, Sandi belajar semalaman hingga pukul tiga pagi, agar esok saat ia kembali mendapatkan tugas bersama Bian, Sandi tidak lagi melihat raut kecewa, melainkan binar bahagia. Sandi menunggu lama, tapi tidak ia dapati sautan mengiyakan dari Bian. Hari itu Sandi tau dan paham, manusia yang paling kita harapkan itu ada bisa jadi manusia yang paling mengecewakan kita.

“Yan, katanya mau ngerjain bareng, ayo cepat!” Suara seorang teman mereka mengintrupsi kegiatan kedunya, satu dengan raut datarnya dan satu dengan raut kecewa yang sangat kentara. Bian tau, meninggalkan Sandi artinya meninggalkan lupa, bisa saja Sandi setelahnya membencinya, sebab alih – alih percaya dengan Sandi, Bian meninggalkannya untuk langkah yang lebih pasti dan terjamin. “Kapan – kapan aja.” Bian tau salah, hanya saja kembali percaya sama dengan Sandi, menurutnya adalah hal yang sia – sia. Sandi mengangguk, mengiyakan dengan raut ceria dan senyum paling lebar, cepat sekali bukan manusia berubah, kala luka menghantamnya dengan hebat, senyuman pura – puranya tak kalah dahsyat.

“Sip, kalo udah selesai contekin aku ya bro!” Ujar Sandi yang hanya dibalas anggukan oleh Bian. Hari itu perkiraan Bian tepat, tidak ada tanda cinta yang sama dari gurunya, buku matematika bernilai sempurna oleh tulisan tangan Bu Maya. Bian bahagia, dan dengan mudah ia katakan pada teman – temannya, “kalo butuh bantuan calling aja ya!” seru Bian yang dibalas acungan jempol oleh kawan, hari itu Bian tertawa, kalimat biasa yang seringkali diteriakkan Sandi padanya, hari itu ia teriakkan kepada orang lain, bahkan itu bukan Sandi, teman lama yang sejak awal menemani langkah tatihnya. Eufhoria bahagia dan sebuah rasa yang begitu memuja, membuan Bian lupa, bahwasanya semua manusia itu selalu ada dalam lingkar pura pura dibalik tawa dan ribuan kata tanpa makna.

“Bian, tolongin aku ya, hitung – hitung tugas kemaren.”

“Bian, tolongin aku ini ya,”

“Bian boleh minta tolong lagi.”

“Bian tolong ya!”

Bian lupa, kapan terkahir kali ia tidak lagi mendengar kata tolong, bahkan tidak berjarak satu hari dimana ia mendapat nilai sempurna di pelajaran yang paling ia benci, setelahnya ia hanya mendengar kata tolong setiap harinya. Bukannya ia tak mau membantu, hanya saja bukankah aneh rasanya saat kita memiliki sebebas bebasnya waktu tapi merepotkan orang lain untuk mengerjakan pekerjaan yang masih mampu kita kerjakan sendirinya. Hari itu Bian menangis, bukan lagi karena tanda cinta dari gurunya, melainkan karena Bian membenci namanya manusia, sebab sifat serah mereka, dan bencinya lagi, Bian menjadi salah satunya, manusia yang serakah dan ingin untungnya saja.

“Bunda nyesel pasti punya anak cengeng kayak kamu, dikit – dikit nangis udah kayak perempuan!” Ejek Sandi berdiri di depannya dengan sebatang es kiko yang sudah terbagi dua, rasa yang selalu Sandi pilih setiap harinya, rasa jeruk, rasa asam yang selalu Bian benci. “Aku juga pernah denger Bu Maya, Mama sama Bunda nangis loh, ternyata perempuan biarpun sudah besar tetap cengeng.” Bisik Sandi pelan, seolah katanya itu adalah rahasia yang tak boleh tersebar, lebih dari sandi negara dan tanah airnya. Sandi berjongkok di samping Bian, menemani sahabatnya yang kini tengah sesegukan.

“Nih makan.” Suruh Sandi memberikan setengah es kiko rasa jeruknya, Bian tidak suka namun tetap ia biarkan rasa asam itu mengecap di indra perasanya, “Asam ya?” tanya Sandi yang dibalas anggukan oleh Bian. “Padahal warnanya cerah banget Yan, waktu pertama kali liat aku kira rasa markisa, yang manis banget itu loh.” Lanjut Sandi, Bian tidak membalas apapun, hanya terdengar sisa sesegukan dari tangisnya.

“Yan, yang keliatan baik nggak selalu baik, yang keliahatan buruk nggak selalu buruk juga, kita cuma belum tahu, bagus dan nyamanya dimana aja, padahal manusia itu sesimpel itu untuk dimengerti loh Yan. Bisa jadi kamu tahu kalo sama dia sia – sia dan hasilnya jelek, bantuannya juga nggak seberapa tapi ia mengusahakan usaha terbaiknya sebagai manusia, tanpa embel – embel balas budi nanti. Ada lagi yang hasilnya akan pasti, terjamin hasilnya, tapi kalo sudah terbebani begini, mana baiknya Yan?”

Padahal usia saat itu masih tahap menuju menjadi remaja, tapi katanya terdengar sangat dewasa melebihi orang dewasa yang bahkan sampai kini bisa jadi masih tidak paham artinya. “Berharap itu boleh, harus malahan. Tapi selama kamu bisa sendiri dan mandiri, jangan pernah meminta pada manusia, sebab yang kamu minta itu manusia, makhluk tuhan yang fana, bukan yang maha bisa.”

Ternyata tidak semua manusia bisa dipercaya ya?

Sedihnya lagi, Dewasa bukan hanya tentang usia, sebab banyak manusia katanya dewasa, tapi urusan sesama manusia saja masih sering salah, masih sering bertanya – tanya, apa sesusah itu menjadi manusia? (bersambung)

 

 

 

 

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: