Bagian 5: “Tertolak Tanpa Kata”

Bagian 5: “Tertolak Tanpa Kata”

Ary--

Terakhir kutatap mata indahmu

Dibawah bintang – bintang

Terbelah hatiku

Antara cinta dan rahasia

Ku cinta padamu

Namun kau milik sahabatku

Dilema hatiku

Andai kubisa berkata sejujurnya

Jangan kau pilih dia

Pilihlah aku yang mampu mencintaimu lebih dari dia

Bukan ku ingin merebetmu dari sahabatku

Namun kau tahu

Cinta tak bisa tak bisa kau salahkan

 

-Yura Yunita, Cinta dan Rahasia

 

֍♠♠♠♠֍

 

“Ora masalah, Anggere sampeyan seneng, aku mundur alon –alon”

-Aji, gagal moveon 2022

>>>***<<<


yamaha--

Ini sudah dua minggu sejak Aji terus menghabiskan sorenya bersama Jingga, menikmati Jakarta kala senja, berhenti di setiap angkringan kaki lima, bercanda, kemudian tertawa bersama. Kadang – kadang, hujan menjadi salah satu bumbu romantis diantara kisah asmara mereka yang masih abu – abu, tentang Jingga yang ternyata tidak terlalu menyukai hujan, dan Aji yang alergi dingin. Bahkan hidung merah mereka kala itu tidak menjadi penghalang asyiknya mereka tertawa dan terus bercerita, tentang apa saja yang sudah mereka lalui hari ini.

“Udah ganteng belum gue?” Tanya Aji berdiri di depan Mas Arya dan Enza, memutar – mutar dirinya di depan cermin full body kamarnya. Mas Arya dan Enza memperhatikan Aji dengan serius, melebih juri Masterchef yang tengah menilai makanan konsesten mereka. Aji yang ditatap juga tidak kalah panas dingin, dirinya seolah ditelanjangi bulat – bulat oleh Mas Arya dan Enza.

“Abang kok dari sudut mana aja masih keliatan kayak gembel ya?” Enza yang pertama kali berkomentar, disusul dengan gema tawa Mas Arya dan decak kesal Aji. Mas Arya mengusap kedua sudut matanya yang berair, sudah tidak terhitung berapa kali ia tertawa karena komentar Enza pada Aji, sedangkan Aji, emosinya sudah dibatas ia bisa menahannya, sebab hampir satu jam lamanya ia terus bergonta – ganti baju sebab Enza dan Mas Arya yang tidak pernah merasa pas dan puas dengan penampilannya.

“Lo pada niat nggak sih ngebantuin gue?” Tanya Aji serius, Mas Arya dan Enza kompak manggut – manggut, jika mereka tidak serius membantu Aji, sudah sejak satu jam lalu mereka meninggalkan Aji, sibuk dengan urusan mereka masing – masing yang setidaknya lebih berguna dibanding memilihkan Aji pakaian untuk pernyataan cinta yang berkedok kencan ala teman. “Lo nggak punya kameja lebih bagus apa?” Tanya Mas Arya. Aji menggeleng, “Nggak, biasakan gue juga kaosan, kameja gini dikit.” Jawab Aji lelah.

Mas Arya menggeleng kasihan, “Miskin banget lo jadi orang,” Ujar Mas Arya

“Yang lo katain miskin ini adek lo btw.” Balas Aji menatap Mas Arya malas, Mas Arya tertawa kemudian menepuk punggung Enza, “Nja, pinjamin gih baju lo ke  bang lo sana, lo kan anaknya stedi banget.” Ujar Mas Arya, Enza mengedikkan bahunya, “Nggak ah!” Tolak Enza mentah – mentah, Enza itu paling anti pakaiannya dipinjam oleh Aji, sebab Aji itu definisi orang yang tak tahu diri, sekali Enza pinjamkan, maka kameja itu tidak akan pernah kembali padanya.

Mas Arya melotot pada Enza, “Nggak boleh nolak omongan yang lebih tua, ambil sana!” Ingat Mas Arya, menyuruh Enza mengambil pakaiannya. Enza menatap Aji sinis, beranjak dengan ogah – ogahan, demi apapun Enza tidak ikhlas. Aji terkikik geli, diantara Aji, Mas Arya dan Enza, si bungsu itu yang paling paham dengan style, ootd Enza tidak ada yang pernah gagal, selain didukung dengan badan yang bagus dan proposional, cara Enza memix and match setiap pakaiannya juga terbilang pro. Jika saja Enza mau membuka kanal di sosial medianya, Aji yakin Enza tidak akan kalah terkenal dari selebritis tanah air.

“Nih!” Kasih Enza keberatan, Aji menoel pipi Enza, “Apaan sih pegang – pegang!” Sewot Enza, Aji terkikik. “Ikhlas nggak nih?” Tanya Aji, Enza mendelik, “Ikhlas kalo dibeliin yang baru,” Jawab Enza asal, kembali duduk di sebelah Mas Arya. Aji tidak lagi memperpanjang percakapannya dengan Enza, segera memakai kameja flanel berwarna navy pemberian Enza, untuk dalamannya Enza memakai kaos putih berpadu dengan celana jeans hitam dan sneakers Air Jordan One High Armony Navy miliknya, modal hasil menabungnya selama tiga bulan penuh.

“Dah ganteng belum gue?” Tanya Aji, yang dibalas dua jempol dengan Mas Arya dan dengusan oleh Enza, “Nggak usah sok kegantengan, entar ditolak tau rasa!” Aji mendelik kesal mendengar perkataan Enza, “Minta dislepet banget mulut lo, Nja!” Balas Aji. Mas Arya segera menengahi, “Udah! Mau sampe kapan elah?” Ujar Mas Arya, “Ji, bunga sama coklatnya udah belum?” Tanya Mas Arya yang diangguki oleh Aji.

Mas Arya mengajak Aji dan Enza untuk melingkar, berpelukan, merangkul bahu satu sama lain, sebuah kebiasaan yang tak pernah berubah jika salah satu dari mereka hendak melaksanakan sesuatu yang menurut mereka itu penting, jika biasanya akan selalu ada petuah dan semangat dari kapten mereka, kini mereka harus puas dengan pengganti kapten mereka, Mas Arya. “Demi keselamatan dan keutuhan hati Aji hari ini, ayo berdoa sama – sama semoga Aji bisa menaklukan hati seorang…” Mas Arya menggantungkan kalimatnya, menatap Aji bingung, “Siapa nama cewe lo?” tanya Mas Aji cengengesan yang dibalas dengusan kesal oleh Aji. “Jingga, Jingga Sanarati!” Ujar Aji kesal.

Mas Arya menangguk, “hati seorang Jingga Sanarati. Berdoa menurut agama dan kepercayaan masing – masing, mu—u” Lagi lagi perkataan Mas Arya terpotong, “Mas, memangnya agama kita beda – beda, kan islam semua kita.” Ujar Enza polos menatap Mas Arya bingung. “Mana tau Mas Arya udah berubah jadi ateis,” Sahut Aji cepat dengan kekehan cemprengnya, Mas Arya menjitak kepala Aji, “Lambemu Ji!” Kesal Mas Arya.

“Udah ah! Buruan doa!” Suruh Mas Arya lagi, yang langsung segera dipatuhi oleh Aji dan Enza, untuk sesaat ketiganya nampak khidmat dengan mata tertutup dan raut wajah yang serius.

“Ya Allah, tolong hambamu ini supaya bisa meluluhkan hati Jingga. Aamiin!” Batin Aji berdoa singkat, karena tujuannya memang hanya satu malam ini, melabeli Jingga sebagai miliknya.

Lain dengan Aji lain pula dengan doa Mas Arya, “Ya allah tolong jangan buat Aji malu – maluin kalo ditalok sama ceweknya, Arya malu punya adek seabsurd Aji ya allah. Kalo nanti Aji malu – maluin tolong jangan temuin Arya dengan Aji ditengah jalan. Aamiin!” Batin Mas Arya serius, seandainya Aji tahu, sudah ia gunting tiap tubuh Arya dan ia lempar ke laut agar dimakan hiu – hiu, Mas-nya Aji yang satu itu memang tidak tau caranya bersyukur. Dimanapun Mas Arya mencari adik seperti Setiaji, tidak akan pernah ia temui dibelahan dunia manapun, sebab Setiaji Archandra itu cuma satu dan itu hanya Aji seorang.

Enza menjadi yang paling terakhir dalam memanjatkan doanya, “Ya Allah, maafin bang Aji sama Mas Arya, bisa – bisanya mereka doa minta dimudahkan dan dilancarkan padahal mau maksiat. Ya allah, kalo mau masukin Bang Aji sama Mas Arya ke neraka, Enza ikhlas, tapi tolong jangan bawa bawa mama sama Enza yang pengen masuk surga! Kalopun Mas Arya dan Bang Aji mau disiksa, tolong yang ringan – ringan aja Ya Allah, soalnya mereka masih kakaknya Enza, Enza sayang sama mereka tapi cuma sedikit.” Doa Enza menjadi doa paling panjang diantara ketiganya dan mungkin doa yang tergolong paling normal diantaranya. Setidaknya ia masih mendoakan Mas dan Abangnya agar selalu dalam kondisi yang baik bukan?

“Doa selesai!” Ujar Mas Arya, mereka kompak membuka matanya. Mas Arya menjadikan tangannya titik tumpu yang tangan Aji dan Enza. Setelahnya Mas Arya menyebutkan lantang semboyan mereka, modal copas dari boyband korea yang tengah naik daun, yang kompak Aji bersaudara sukai saat pertama kali menonton Music Video mereka tidak sengaja.

“Yo Dream!”

“Jjeoreo, Juja, Fighting!”

***

Aji memeriksa kembali buket bunga dan dua batang coklat yang ia bawa untuk diberikan kepada Jingga yang ada di dalam jok motornya, ia bawakan juga sebuah hadiah untuk Jingga, buku harian berwarna merah muda. Sebenarnya Aji ingin memberikan buku harian itu untuk adiknya Enza. Namun, mengingat terkahir kali Enza meminta kepada Mas Arya untuk tidak membelikan barang – barang merah mudah untukknya, Aji jadi berpikir ulang untuk memberikannya pada Enza. Aji dan Jingga berjanji untuk bertemu di Angkringan Blok M Square, biasanya Aji akan menghabiskan waktunya bersama Sakul disini. Namun, kali ini ia akan menghabiskan malamnya bersama Jingga, pujaan hatinya.

“Brom, tolong diem baek – baek disini ya, gue mau nemuin calon emak lo dulu. Jangan ngilang yo, gue masih nyicil lo sama Mas Arya dua jeti!” Pesan Aji pada Brom—nama motor Vario miliknya—dengan raut wajah serius. Aji merasa familiar dengan salah satu mobil yang tak jauh terparkir darinya, tampak familiar dengan mobil tersebut. Dalam hatinya Aji cukup iri mengingat harga Toyota fortuner 4x2 2.8 VRZ AT DSL itu mencapai lebih dari lima ratus juta. Namun, mengingat Brom ada saja, Aji sudah sangat bersyukur.

Tak jauh dari pedagang sate, Aji dapat melihat Jingga. Ah, perempuan itu tampak cantik dengan balutan sweeter baby blue berpadu dengan rok putih selutut miliknya, rambutnya dikepang samping dengan jepit warna warni menghiasinya. Namun, Jingga tidak sendiri, ada lelaki lain bertubuh jangakung yang tampak menahan lengan Jingga erat, seolah ada percakapan serius yang terjadi di antara mereka. Karena jarak yang tidak terlalu jauh, Aji dapat mendengar suara Jingga dan lelaki jangkung itu.

“Kita nggak pernah kenal, dan jangan ngomong sembarangan sama aku. Aku nggak pernah mau balikan sama kamu lagi! Peduliin aja selingkuhan kamu itu!” Aji dapat mendengar suara Jingga yang meninggi.

“Gila, itu mantannya anjay!” Batin Aji terkejut dengan mata melotot, bergegas mempercepat langkahnya, pokoknya sampai titik darah penghabisan terkahir, Aji harus mampu membuat Jingga menyandang status sebagai pacaranya malam ini.

“Kenapa sih Jingga? Cuma karena cowo sialan itu kamu, kita selesai gitu aja! Dua tahun Jingga! Dua tahun dan kamu buat ini selesai gitu aja!” Lelaki Jangkung itu menarik Jingga ke dalam pelukannya.

Aji mematung, langkahnya untuk menyusul Jingga ia hentikan. Bukan kerena ia terkejut dengan pelukan yang diberikan lelaki jangkung itu pada calon wanitanya, bukan juga karena mendengar lamanya hubungan lelaki itu dengan Jingga. Namun, sosok yang berdiri di balik semua hal itu yang membuat mata Aji memanas, dan hatinya berdenyut nyeri.

“Sakul,” Gumam Aji, menatap nanar pandangan di depannya. Jingga yang memeluk Sakul dengan erat dan Sakul yang tampak begitu mencintai Jingga.

Pantas Aji familiar dengan mobil yang ia temui tadi, wajar saja karena ia selalu melihat mobil itu selalu ada di halaman rumah Mbak Ti, kakaknya Sakul. Kalo sudah begini, Aji kalah dalam segala hal, kalah materi, kalah body, kalah waktu pula, terlebih jika itu Sakul, Aji tidak punya pilihan lain selain mengalah. Jika saja itu laki – laki lain, Aji akan mendorong lelaki itu jauh dari jangkauan Jingga, mengurung Jingga untuk dirinya sendiri. Namun, itu Sakul, sahabat sehidup semati Aji. Diantara cinta dan sebuah persahabatan yang sudah lama terjalin, Aji akan memilih mengalah, membiarkan sedikit rasa sakit hati menggerogoti dirinya, sebab cintanya yang tak pernah terjadi.

“Belum jadi apa – apa padahal, kok rasanya sakit banget ya disini?” Monolog Aji, bertanya pada dirinya sendiri. Meremat dadanya pelan. Harusnya Aji tahu, tidak mungkin Jingga menerima dirinya dengan mudah padahal dulu Jingga menolaknya mati – matian. Terlebih Jingga yang biasanya selalu acuh tak acuh padanya, tiba – tiba menaruh perhatian lebih. Seharusnya, Aji bertanya – tanya bukan terbawa perasaan begitu saja. Aji tertawa miris menatap buket bunga, coklat dan hadiah yang sudah ia siapkan untuk Jingga.

Jingga itu lucu, harusnya Aji tertawa bukan jatuh cinta. (bersambung)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: