Bagian 4: “Telah Pencuri Sepeda”

Bagian 4: “Telah Pencuri Sepeda”

--

Yang salah nggak sepenuhnya salah, yakali lo tahu tu orang mau ngebunuh lo, lo masih diam aja. Zaman sekarang mana ada di lempar batu lempar balik pake pisang! Pake bunga! Sekalian sama pot – potnya.”

-Jaya (Masih remaja sensi tahun 2022)

***

Agana berpisah dengan Rayhand dan Rosa di gerbang sekolah, bersiap untuk pulang, “Lo yakin nggak perlu kita temenin?” Tanya Rayhand kembali, raut cemas tampak diwajahnya juga Rosa. Agana menghela nafas kembali, “Iyaa, bawel lo pada!”

Rosa menjitak kepala Agana pelan, “Gimana kita nggak khawatir, lo itu nyuri sepeda. Kita tu takut entar lo digebukin sama yang punya!” Kesal Rosa melihat Agana yang begitu keras kepala.

“Gue bukannya nyuri, gue cuma pinjam bentaran doang, denger ya P.I.N.J.A.M!” Jelas Agana kesal. Berapa kali Agana harus menjelaskan pada temannya, bahwa ia tidak mencuri sepeda butut ini, ia hanya meminjamnya tanpa sepengatuan pemeliknya.

“Ya sama aja lah! Emangnya yang punya tau lo minjam itu sepeda?!” Tanya Rayhand kesal, Agana menggeleng polos, membuat Rayhand geram mengacak rambutnya kasar, “Temen loh tu Ros, karungin sana, kesal gue litany!” Suruh Rayhand pada Rosa.

Rosa khawatir pada Agana, namun tak ayal juga ia kesal karena Agana begitu keras kepala. “Lo benar – bener yakin nggak akan diapa – apain sama yang punya?” Tanya Rosa sekali lagi, yang dibalas anggukan kencang oleh Agana, meyakinkan Rosa dan Rayhand. Rosa menghembuskan nafasnya pelan, sudah berapa kali dalam sehari ia menghembuskan nafasnya layaknya orang yang selalu mengeluh, “Kalo ada apa – apa langsung hubungin kita oke? Handphone lo harus aktif,” Rosa mengalah membiarkan Agana dengan keputusannya. Agana itu kepala batu, mau dikatakan berapa kalipun Agana akan tetap dengan pendiriannya.

Rayhand tidak banyak berkomentar, menatap Agana dengan wajah sangar, namun Agana abaikan. Agana menaiki sepedanya, meninggalkan kedua temannya, “Gue duluan ya!” Pamitnya yang hanya dibalas anggukan oleh Rosa dan Rayhand.

***
Jaya menunggu di sudut jalan tempat tadi pagi sepedanya dicuri, ia pulang lebih cepat dari biasanya sebab sekolahnya tidak mengadakan kegiatan belajar sama sekali. Jaya mencibir mengingat tadi pagi ia harus memohon kepada Pak Arya, satpam sekolahnya. Jatuh sudah harga dirinya. Tau begitu lebih baik Jaya pulang ke rumah atau membolos saja.

Jaya mengikuti feeling untuk tinggal lebih lama, menunggu sepedanya kembali, entahlah Jaya hanya yakin bahwa sepedanya akan kembali. Lagipula mana ada sih pencuri berseragam sekolah yang mencuri dengan terang – terangan, terlihat sangat amatiran. Setidaknya pencuri tersebut harus menutup wajahnya, dan tadi pagi Jaya masih mengingat dengan jelas wajah siswi perempuan itu.

Dari jauh, Jaya dapat melihat seorang perempuan mendorong sepedanya menujunya, kali ini Jaya dapat melihat lebih jelas wajah perempuan tersebut, manis dengan rambut sebahunya. Jaya menggelengkan kepalanya, “Astaga Jaya, itu yang udah nyuri sepeda lo, sadar bego!” Peringat Jaya pada dirinya.

Jaya tebak, perempuan tersebut seumuran dirinya. Pencuri sepedanya tersenyum ramah yang dibalas Jaya dengan tatapan tajam berusaha mengintimidasi lawannya, matanya bolak balik memadang perempuan tersebut dan sepedanya.

“Agas ya? Sorry gue ngambil sepeda lo tanpa izin.” Jaya masih diam, ia naikkan sebelah alisnya seolah berkata ‘nggak banget dah mulut lo ngomong maaf’, Agana tidak tahu harus bereaksi seperti apa lagi, berinisitif mengenalkan dirinya, “Gue Agana, maaf ya rantai sepeda lo lepas, nanti kalo ketemu bengek gue—”

“Nggak perlu,” Jaya mengambil alih sepedanya dari Agana, tidak ada apapun yang diharapkan dari perempuan di depannya ini, siapa tadi namanya? Agana? Jaya berusaha memaklumi, mungkin ada alasan mengapa tadi pagi Agana memakai sepedanya tanpa seizinnya.

“Serius, nanti kalo ketemu bengkel pasti gue bene—”

“Gapapa, sepedanya emang biasa lepas rantainya. Sepeda tua, mau ke bengkel paling bagus pun di bagusin, besoknya juga lepas lagi.” Lagi – lagi Jaya memotong ucapan Agana.

Jaya berjongkok, berusaha memperbaiki rantai sepedanya, setidaknya ia bisa menghemat uang jajannya untuk tidak menaiki angkot dan tidak perlu mengeluarkan tenaga lebih banyak untuk berjalan ke rumahnya.

Perempuan didepannya masih tidak beranjak, Jaya hanya diam, membiarkan Agana berspekulasi sesukanya. Sebenarnya Jaya ingin memaki – maki Agana, sebab Agana Jaya harus kerepotan di pagi harinya, namun ucapan kakanya terus terngiang di otaknya, di tepi jembatan, kala Jaya pertama kalinya menatap pelangi sore dengan pelangi.

“Jaya, kalo udah besar nanti, Jaya harus bisa pengertian. Ada beberapa hal tentang manusia yang sulit kita pahami, kadang yang salah tidak sepenuhnya salah, mereka punya alasan. Yang benar bisa jadi tidak sepenuhnya benar, bisa jadi perkataan mereka bualan sia – sia. Jadi manusia yang bijaksana nanti ya dek,”

Dan kali ini Jaya berusaha mengerti, ada alasan mengapa sepedanya harus dicuri diam – diam tadi pagi, ada alasan untuk setiap manusia atas tindakan yang ia lakukan, selama ia bertanggung jawab, tidak ada yang sepenuhnya salah, ingat, manusia selalu punya alasan. (bersambung)

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: