Bagian 5: “Untuk Agana”

Bagian 5: “Untuk Agana”

--

“Akhirnya kamu datang, dan aku pulang. Setelahnya kita dapat tertawa atas suka cita yang ada, dan menangis sejadi – jadinya atas duka yang tak pernah tiada, ternyata sesakit ini untuk sebuah kebersamaan kita. Bertahanlah sebentar, maka semua akan baik –baik saja, ya semoga.”

Manusia, 11-05-22

Aku mendapati tubuhku berbaring, saat kubuka mataku, putih adalah hal pertama yang kulihat, hampir semua yang terlihat adalah putih, suasanya terasa sunyi, aku terasa sendiri. Mendengar perkataanku sendiri, aku terkekeh, nyatanya aku memang sendiri, sebab Agana tak pernah lagi untuk kembali, bahkan barang sebentar saja, untuk melepas rinduku walau hanya sesaat. Agana terlalu curang, ia mampu menuntaskan rindunya, namun aku selalu memenuhi kepalaku dengan tanda tanya kala ingin menjumpainya.


yamaha--

“Sean,” Aku tersentak, Agana datang dan mencubit lenganku, “Aku tak pernah meninggalkanmu, kamu yang membuatku terlalu lama menunggu tau!” Agana mengucapkannya dengan marah, namun terdengar lucu bagiku.

“Peluk aku, aku merindukanmu.” Pintaku yang dibalasanya dengan senang hati, aku memeluknya erat, sangat merindukannya, sudah lama tak kudapati ia disisiku, “aku juga,” balas Agana pelan. Masih dalam posisi yang berpelukan, “Agana,” Panggilku mengusap rambutnya lembut.

“Hmm?” Agana menjawab dengan deheman pelan.

“Aku merindukanmu,” Ujarku

“Aku juga,” Balasnya

“Boleh aku pulang?” Tanyanku

Agana terdiam sesaat, ia melepaskan pelukannya, mencubit hidungku pelan, “kamu masih mengingat janjimu dulu kan?” Tanya Agana.

Aku mengangguk, “cincin dan bunga matahari bukan?” Tanyaku yang dibalas gelengan kecil oleh Agana, senyuman manisnya membuatku sedikit merasa bersalah, apakah aku melupakan janjiku.

“Kamu melupakannya ya Sean?” Tanya Agana, aku memandanya kikuk, bingung untuk menjawab apa. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, berusah mengingat janji lain yang kulakukan dengan Agana. Agana menghembuskan nafas kesalnya, mencubit lenganku keras.

“Ingat, kamu janji sama aku untuk datang ke aku dengan keadaan paling dewasa, aku bakal nunggu, buat dengerin cerita tentang bagaimana angka emas itu berakhir hingga akhirnya kamu menemui angka terkahirmu.” Omel Agana, kali ini ia terlihat seperti Mama saat marah – marah.

Aku menangguk pelan, tentu aku mengingatnya, tidak akan ada yang kulupakan, “Angka emasku sudah berkahir, biarkan aku sekarang menemuimu cantik, aku merindukanmu.” Ujarku sekali lagi. Agana kini tidak lagi tersenyum, dirinya terdiam cukup lama.

“Bagaimana dengan mama?” Tanya Agana, aku tersenyum, “Sudah ada abang dan kakak, semua sudah kembali, aku bahagia, mama juga, begitupula mereka, tinggal kamu, aku butuh kamu.” Jawabku.

Agana mengangguk, kemudian aku merasa tanganku tidak lagi berdaya, samar – samar kudengar mama dan kakak yang berteriak histeris melihatku dan abang yang menangis sangat keras untuk pertama kalinya dihadapanku, bahkan pertemuan ku dan abang pertama kali bertemu dibandara tidak membuatnya menitikkan air mata, lalu apa yang terjadi kini. Abang tampak melilit – lilit benda putih di tangan kananku, namun tubuhku lebih tidak berdaya, terasa lemas dan sangat sakit. Ujung mataku berair, entah kali ini untuk apa aku menangis, aku tidak mengerti perasaan yang kurasa.

“Sean! Kamu denger mama- kan sayang?” Aku dapat melihat mama menangkup wajahku dengan wajah yang sembab, bahkan kantung mata mama tampak dengan jelas menghitam, mama menangis hebat, bahkan lebih dari saat aku berlari dan berteriak pada mama.

“Sean capek,” Hanya dua kata itu yang keluar dari mulutku untuk menjawab pertanyaan mama. Mama menatapku iba, “bertahan untuk mama, anak laki – laki mama paling kuat,” kali ini kudengar suara mama yang memohon, dan kudapati orang – orang berseragam putih disekelilingku, entah apa yang mereka lakukan pada tubuhku, hingga hening tanpa pergerakan.

“Adek kakak rindu banget ya sama Agana? Padahal kakak sama rindunya dengan kamu, sekarang wajar kalo kakak bilang kamu adek kakak yang paling manja, adek kecil kakak sekarang benar – benar egois ya?” Kakak mengatakannya dengan nada riang, namun tangisnya tak berhenti, ia mengecepi keningku dengan lama lalu berbisik, “Bilang sama Agana, kakak nggak benci sama dia, semoga adek nggak rindu lagi ya,”

Setelahnya kudapati suara abang berbisik, “Yo dude, semoga bahagia anak nakal, sekarang nggak rindu lagi sama Agana,”

Dan setelahnya bisikan terakhir dari mama, “Anak mama nakal ya sekarang! Udah berani nggak dengerin kata mama, pulang yang tenang sayang, titip rindu buat Agana, mama sayang kamu, maafin mama ya adek,” dan setelahnya hilang. Aku dapat melihat Agana yang berdiri tak jauh dariku, Agana terlihat cantik dengan dress putih, ia mengangkat jarinya, dan dapat kulihat cincin yang kubeli tersemat manis di jarinya, bunga mataharinya pun terasa sangat pas saat digenggamnya.

“Agana, aku pulang.” Ujarku.

Agana menangguk, namun tatapannya berkaca – kaca, raut sedihnya tampak jelas, “bukankah sudah kukatan, pulanglah dengan dirimu yang paling dewasa, lalu mengapa kamu pulang dengan dirimu yang paling ke kekanakan.”

Aku terdiam tidak membalas Agana, “Maaf,” Hanya itu kata yang dapat kuutaran. Agana mendekatiku, memelukku dan menangis keras, tangis pilu pertama yang kudengar darinya.

Kesekian kalinya ku kakatan, “Agana, aku pulang.”

“Ya, selamat datang.” Dan akhir ini selesai, penantianku usai, Aganaku bersamaku.

“Untuk Agana, semoga kamu bahagia walau aku pulang dengan cara paling tidak dewasa, aku mencintaimu, dan selamanya akan begitu.”

THE END

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: