“Manusia”

“Manusia”

--

Author            : Aryhardiana

Blurb              :

Agana akan selalu menerima Sean pulang walau dengan cara paling tidak dewasa, sebab Sean adalah manusia yang tak dapat ia terka, pilihannya kadang membuat Agana ingin menangis dan menyuruhnya kembali memutar ulang waktu, namun tak ada yang dapat ia selesai, Karena akhirnya ia turut bertekuk lutut pada Sean.

Sean adalah sosok pencari dewasa sesungguhnya, hingga ia lupa bahwa dewasa adalah tentang menerima bukan memaksa. Bahkan hingga akhir, Sean tetap mengingkari janjinya, ia tak kembali, ia pulang dengan cara yang salah. Dan disaat terkahirnya, Sean menyesal tentang akhir dari langkah perjalanannya.

Prolog

Ada beberapa hal dalam hidup yang tak bisa kita pelajari dari sekolah, beberapa diantaranya harus kita dapati dari rasa sakit, dan diantaranya terlahir dari rasa kecewa, namun juga bisa dari rasa bahagia yang ada. Banyak hal pula yang dapat menjadi sumbernya, bisa jadi itu hanya berupa sebuah surat yang salah alamat, atau kertas kecil yang kita temukan tak sengaja di jalan. Namun, yang paling kusukai dari segalanya adalah, merasakan seluruh hal itu dari ragamnya manusia.

Ekstensi keberadaan manusia yang begitu beragam, membuatku selalu bertanya – tanya, apa yang dpikirkan tuhan sehingga menciptakan manusia seperti kita? Atau pertanyaan apa yang dipikirkan tuhan kala menciptakan aku? Padahal bisa jadi, aku manusia yang paling merugikan untukknya, atau hal lainnya yang kupikirkan, bagaimana jika aku yang diberikan kesempatan merasakan menjadi manusia ini malah menjadi penghancur manusia lainnya, menjadi sumber kehancuran manusia.

Dan satu hari, kesengajaan yang membuatku terus tersenyum hingga sekarang kala mengingatnya, aku bertemu manusia, yang lebih unik dari biasanya. Senyumnya tak pernah usai, bahkan hingga ia tak lagi tertatap oleh mataku, tawanya terdengar cerah, berderu bersamaan dengan angin, matanya bersinar indah, siapapun yang menatapnya aku yakin tak satupun tak akan jatuh cinta. Untuk pertama kalinya, debaran itu bukan untuk betapa bersemangatnya aku memulai hari, namun untuk gerangan siapa dia yang sudah membuat jatuh hati?

 Bagian 1 : “Tujuh Belas”

“Angkanya terlalu berarti, hingga memoripun menanti, kapan ini akan terulang lagi.”

-Manusia, 11-05-22

Setelah beberapa lama menunggu, bus pun akhirnya melaju, mereka yang didalamnya tidak berdesak – desakan layaknya bus umum, ini khusus bus sekolah yang mereka tumpangi. Seragam abu – abu melekat rapi pada setiap mereka yang sudah duduk nyaman di kursi masing – masing. Namun, masih bisa kudapati sebagian kecil dari teman – temanku masih sibuk berbenah, kehilangan topilah, lupa memakai dasilah, atau mengeluh mengapa malam tadi hujan dan mati lampu jadi mereka tidak sempat mengerjkan tugas sekolah yang sudah di berikan. “Sean, please bantuin gue,” Aku menaikkan alisku sebelah, bertanya – tanya gerangan apa manusia satu ini bertekut lutut padaku, padahal ia baru saja menaiki bus, tidak ada angin, tidak ada hujan, Revan mengiba dengan mata berkaca – kaca.

“Lo ngapain sih?!” Tanyaku Sewot, sungguh ditatap dengan tampang sok imut manusia kelebihan kalsium seperti Revan bukanlah hal yang bagus, malah terkesan menjijikkan untukku.

Revan mengamit lenganku dan bergelayut manja, “Sean, gue liat tugas matematika ya. Serius, tadi malam gue udah berusaha ngerjain. Tapi hujan terus mati lampu, tolongin gue ya, pleaseee, lo tau kan Bu Ibet nggak akan ngasih ampun kalo gue nggak ngumpul.”

Aku mendengus nafas keras, aku pikir tentang apa, ternyata hanya tentang tugas, “Makanya kalo dikasih tugas itu jangan nunda – nunda, perasaan tuh tugas dikasih minggu lalu Revan, yakali lo baru ngerjainnya semalam, kalo gini mah gue juga ogah ngebantuin lo!”  Omelku.

“Ya allah Yan, lo tau kan gue nggak akan nyontek sama lo kalo nggak terpaksa, ini tuh mepet banget please, gue nggak punya temen yang pintar selain lo,” Revan masih berusaha membujukku dengan wajah puppy eyesnya yang membuatku sungguh mual dan muak. Hingga sepasang tangan memukul kepala Revan.

“Terus lo ngatain kita – kita bego gitu!” Rangga menatap Revan dengan wajah kesal, membuat Revan segera memberi tanda peace, tidak bermaksud untuk mengatai teman – temannya, terutama memancing emosi Rangga, ketua kelas kami saat itu.

Namun yang membuatku terkejut adalah Rangga turut bertekuk lutut di sebelah Revan, jarak antara kursi bis  tidaklah lapang dan dua manusia kelebihan tulang yang berlutut dihadapku ini membuat ruang gerakku terbatas, Rangga turut memasang wajah yang dipaksa imut, percayalah saat itu aku benar – benar ingin mengeluarkan semua isi perutku, bagaimana bisa orang paling sangar di kelasku memasang wajah imut sepertinya.

“Sean,” Ujar Rangga memulai dengan tatapan paling memelas, “Kita tau lo anti nyontek – nyontek klub, tapi percayalah bahwa kita juga nggak mau nyontek dengan lo, namun melihat keadaan, situasi, dan kondusi—” Rangga membuat dirinya tampak dramatis, mengusap air mata yang aku yakin itu tidak ada, bahkan pipi Rangga tidak basah sama sekali. Revan menambah situasi dengan memutar River Flows In You oleh Yiruma dari ponselnya sebagai latar belakang suara. Aku benar – benar jengah menghadapi dua manusia di hadapankku, tentu aku tau maksud dari sifat mereka yang tiba – tiba aneh, untuk apalagi jika bukan meminjam tugas matematika.

Aku mengeluarkan buku tugas matematiku, “Harus balik sebelum jam pelajaran Bu Ibet nanti!”

“Makasih Revan!” Aku tersentak kala mendengar kata terimakasih yang hampir mirip dengan berteriak di dalam Bis, tidak terkejut lagi kala buku matematiku bergilir hampir di semua siswa yang ada di Bis. Aku mengangguk dan tersenyum kecil menanggapi ucapan terimakasih mereka.

Aku memasang earphoneku, dan berpindah ke bangku belakang supir yang kosong, di sebelah supir ada seorang siswa yang terus tertawa sedari tadi bersama sang supir. Entah guyonan apa yang mereka lontarkan satu sama lain, namun tawa mereka terdengar sangat lepas. Aku tidak mendengar apapun di earphoneku, bagiku sayang melewatkan tawa semerdu miliknya pagi ini, senyumnya masih sama manisnya seperti biasa, aku menghitung satu sampai sepuluh.

“Pak, radionya aku hidupin ya, mau denger suara tulus.” Batinku tepat setelah hitungan kesepuluhku dalam diam.

“Pak, radionya aku hidupin ya, mau denger suara tulus hehe,” Ucap Siswi tersebut setelahnya.

Aku mengulas senyum kecil, perempuan dengan rambut sebahu itu sangat mengandrungi lagu – lagu tulus, ia suka mendengarkannya dari radio dibanding ponselnya, dan setelah ini aku yakin dia akan menceritakan betapa serunya kemarin ia menghabiskan waktunya dan mengeluh betapa melelahkannya bersekolah.

“Uh, tau nggak si pak kalo ada tanggal merah di hari biasa sekolah itu, beh udah kek dapat uang semilyar yang jatuh dari langit!” Ucapnya menggebu – gebu yang hanya dibalas kekehan kecil oleh pak supir.

Dirinya benar, aku juga berharap bahwa setiap hari adalah tanggal merah, agar aku bisa hidup sesuka ku tanpa aturan sekolah yang menyebalkan. Namun, jika itu benar – benar terjadi, aku yakin, tanggal merah tidak akan semeriah bagaimana kami mendapat kabarnya selama ini.

“Tapi, kalo terus tanggal merah, juga pasti nggak enak,” Lanjutnya menatap lurus kedepan, “Soalnya Agana bakal rindu sekolah, dan nggak bisa ketemu dia.” Di akhir kalimatnya ia menatapku, itu pertama kalinya kami memandang satu sama lain, dirinya tersenyum kecil lalu berbalik setelahnya tepat saat bus berhenti di depan sekolahku.

Hari itu aku merasa hari terbaik yang pernah ada dalam hidupku, rasanya seperti melayang dan perutku penuh dengan kupu – kupu, jantungku juga berdetak kencang, berdebar lebih dari biasanya, entah mengapa aku merasa bahwa yang ‘dia’ yang dia maksud adalah aku. Saat itu tujuh belas tahun yang terasa sempurna.

Ingin kuulangi rasanya masa – masa itu, hari dimana kami para remaja masih merayakan tanggal – tanggal merah dengan amat meriah dan bahagia, masa dimana matematika adalah cobaan paling berat untuk kami, dan momen dimana kami bernyanyi bersama kala mendengar lagu kesukaan kami terputar mengudara dari sebuah radio usang di atas meja guru. Aku ingin kembali merasakan debaran itu, dengan dia yang masih utuh, aku ingin kembali mengulang memori itu, dengan dia yang bertemu jumpa pertama sudah membuat rindu. (Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait