Liang Bua, Rumah Hobbit Flores yang Terus Digali

Liang Bua, Rumah Hobbit Flores yang Terus Digali

                Bahkan, jejak aktivitas pada masa Pastur Verhoeven pun kadang masih muncul. Tim peneliti kerap menemukan grip dan sabak, batu tulis anak-anak sekolah sekitar delapan dekade silam. \"Sehingga, Liang Bua ini sudah akrab dengan warga di sekitar sini, mulai warga purba hingga warga modern,\" katanya.

                Kini, warga sekitar Liang Bua terus-menerus dilibatkan untuk membantu penelitian. \"Saya berani jamin, warga di sini bisa disebut arkeolog. Saya berani adu mereka dengan arkeolog yang baru lulus perguruan tinggi. Warga ini lebih jago,\" kata Jatmiko.

                Padahal, menggali situs penelitian tak sama dengan menggali kubur. Di Liang Bua, tanah digali 10 sentimeter demi 10 sentimeter pada petak berukuran 2 x 2 meter persegi. Tanah yang diangkat lalu dicuci untuk memisahkan fragmen tulang atau temuan lain. Setelah itu, tanah dikembalikan lagi ke tempat penggalian.

                Warga pun tak hanya dilibatkan untuk menggali. Mereka juga bisa memilah, membersihkan, hingga melakukan perbaikan kecil terhadap fragmen-fragmen yang ditemukan. Misalnya, memberikan pengawet khusus atau mengelem bagian yang retak. \"Kami memang sudah biasa memegang fosil. Ini fosil tulang telinga stegodon,\" kata Tensianus Tahu, 34, warga Liang Bua, yang bertugas menyortir fosil sebelum dikirim ke Arkenas, Jakarta, sembari menunjukkan potongan tulang.

                Warga Liang Bua, terutama yang masih muda, memang mendapat pujian secara khusus oleh Jatmiko. \"Mereka smart dan mau belajar. Mereka juga bisa menjelaskan salah kaprah bahwa homo floresiensis punya keturunan sampai sekarang,\" kata Jatmiko.

                Setiap Arkenas melakukan penelitian di Liang Bua \"selama kurang lebih dua bulan tiap tahun\" ada sekitar 40 warga yang dilibatkan. Mereka diberi honor Rp 45 ribu per hari per orang. Honor itu diterimakan tiap pekan. Selain honor, seluruh fasilitas ditanggung. Makan, kopi, hingga rokok yang diberikan sehari dua kali.

                Meski sudah kondang sebagai tempat penelitian dan tempat wisata, suasana Liang Bua masih terasa sepi. Kalau saja tak ada aktivitas dari Arkenas siang itu, gua besar itu bisa jadi melompong. \"Yang wisata memang tak banyak. Yang sering wisata minat khusus,\" kata Kornelis Jaman, penjaga situs wisata Liang Bua.

                Padahal, niat menjadikan Liang Bua sebagai tempat rekreasi arkeologis sudah ada. Namun, niat itu tampak tak terlampau besar. Sekitar 200 meter sebelum Liang Bua ada gapura sederhana untuk menyambut pendatang. Kantor Kornelis Jaman sendiri juga menjelma sebagai sebuah tempat pameran mini. Di situ ada gambar-gambar sejarah Liang Bua plus patung orang kerdil setinggi sekitar 100 cm. Ada pula potret binatang purba yang pernah mendiami kawasan tersebut. Cukup apik, sayang tak banyak yang tertarik.

                Siang itu Kornelis mengajak saya ke Desa Rampasasa di dekat Liang Bua. \"Di situ ada keturunan orang pendek,\" kata Kornelis.

                Memang, di Rampasasa ada beberapa orang yang tingginya hanya sekitar 140 cm. Mereka kerap dikunjungi turis, diajak berfoto, plus dikasih duit.

                Namun, ajakan Kornelis saya tolak. Saya bukannya condong ke pemikiran tim Arkenas bahwa homo floresiensis sudah punah dan ada tembok waktu dari aktivitas gunung purba yang memisahkannya dengan manusia modern. Tembok waktu yang membuatnya tak mungkin beranak-pinak hingga sekarang. Saya hanya tak tega melihat orang-orang yang kebetulan tubuhnya lebih pendek lantas \"dituduh\" begitu saja sebagai keturunan Hobbit...

(*/c2/ari)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: