Ke Malaysia, Naik Sepeda Lipat Nonton MotoGP di Sirkuit Sepang

Ke Malaysia, Naik Sepeda Lipat Nonton MotoGP di Sirkuit Sepang

 Bersepeda petang sampai malam itu adalah \"pemanasan\". Sabtunya (20/10), baru yang \"beneran\". Menuju Sepang.

 Pukul 09.00 setelah sarapan, sepeda kembali saya turunkan. Pagi itu, saya mengayuh menuju stasiun monorel terdekat (di Bukit Bintang). Cukup tujuh menit, sampai ke stasiun. Sepeda saya lipat, lalu antre tiket.

 Untuk menuju KL Sentral, stasiun utama, dikenai tiket seharga RM 1,2 atau setara Rp 3.200-an. Tak enaknya, ternyata kereta akan melaju dari rel di seberang. Jadi, saya harus menjinjing lipatan besi berkadar 12,5 kg itu menaiki tangga di atas rel. Di dalam kereta, sepeda saya sandarkan di pinggir pintu. Hanya 15 menit, sampai tujuan.

 Saat itu, bangunan KL Sentral sedang bersolek. Penumpang harus menuruni eskalator, lalu berjalan menyeberang menuju bangunan terpisah. Kembali sepeda saya naiki di antara pejalan kaki. Di depan pintu masuk, sepeda kembali saya lipat dan saya tenteng menuju lantai 2 pakai eskalator.

 Niatnya naik KLIA Express, kereta cepat menuju bandara internasional. Sempat ditanya-tanya sedikit oleh petugas, dengan ramah saya dipersilakan antre tiket. Pesan hanya satu: Hati-hati saat menaruh sepeda.

 Dengan membayar RM 35 atau sekitar Rp 115 ribu, saya bisa mencapai KLIA dalam waktu 28 menit. Kalau naik taksi dari KL, biaya bisa lebih dari Rp 200 ribu plus makan waktu lebih dari 45 menit. Ini jauh lebih nyaman.

 Sesampai di KLIA, saya menuju kawasan parkir Limo (taksi bandara). Sepeda saya buka, lalu saya kayuh disertai sorakan dan teriakan para sopir: \"Sepeda Limo! Sepeda Limo!\"

 Aduh, saya lupa jalan. Walau sudah berlatih ketika tiba, ternyata masih bisa lupa juga. Seharusnya mencari icon (penanda) seperti Hotel Pan Pacific dan Bundaran Masjid, saya tak tahu harus ke mana.

 Dalam kebingungan, saya berhenti dan bertanya kepada tukang yang sedang bersih-bersih selokan. Dia bilang saya harus berbalik arah. Dengan kesabaran dan kehati-hatian tinggi, saya menyeberangi highway.

 Di seberang jalan, saya bertanya lagi kepada seorang warga Malaysia. Ternyata, saya disuruh balik lagi ke jalan semula. Agar lebih yakin, saya bertanya apakah ada rambu penunjuk arah tujuan. Dia bilang ada, tak jauh di depan.

 Inilah pengalaman pertama saya gowes di luar negeri. Bersepeda di lajur kecemasan (darurat) highway ternyata berat juga. Angin kencang terus menerpa. Banyak pula pasir dan kerikil yang diempaskan mobil-mobil yang berlalu. Apalagi, suhu begitu panas dan lembap. Keringat terus bercucuran.

 Saya sempat merasakan kesepian. Hiburan selama perjalanan hanyalah mobil-mobil yang mendekat sambil melambaikan tangan. Beberapa membunyikan klakson. Entah mengejek atau menyemangati.

 Lucu juga melihat rambu-rambu. Bagaimana mau \"Kurangkan Laju\" kalau kecepatan rata-rata saya hanya sekitar 25 km/jam\" Paling saya patuhi ketika jalan menanjak, dan kecepatan drop jadi hanya 8 km/jam.

 Menjelang pertigaan Sirkuit Sepang, saya bertemu tiga orang cyclist asal Jakarta. Dari kelompok Sesat alias Sepeda sampai Tua asal Jakarta. Mereka agak iri pada Brompton saya. Sebab, sepeda saya bisa dinaikkan kereta. Ternyata, mereka punya pengalaman buruk pernah ditolak gara-gara sepeda kebesaran.

 Untung saya tiba di kawasan Welcome Center pada saat yang tepat. Sebab, hujan lebat langsung turun. Sepeda lantas saya titipkan ke counter Lily Tour, dan saya menuju kawasan-kawasan lain untuk menikmati sirkuit.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: