>

Kasus Pulau Berhala dan Inkonsistensi Policy PemPus

Kasus Pulau Berhala dan Inkonsistensi Policy PemPus

Oleh : Ansorullah, SH., MH.

Akhir-akhir ini pulau berhala kembali menjadi pusat perhatian masyarakat Jambi, terutama sejak dikeluarkannya Putusan Mendagri 44 /2011 dan Putusan MA tgl. 19 desember 2011. Bahkan Media Televisi Nasional ikut-ikutan menayangkan pulau tsb. Hal ini menjadi lebih hangat dibicarakan setelah MK. Mengabulkan permohonan Pemprov. Kepri.   Dlm kapasitas saya selaku salah seorang pelaku sejarah dlm memperjuangkan Pulau berhala dan selaku akademisi saya merasa perlu meluruskan persepsi mayarakat Jambi terhadap kasus pulau berhala tersebut dari berbagai aspek pendekatan, sehingga kita dapat menilai secara tepat, tidak hanya dari aspek prestius semu dan mengambing hitamkan pihak tertentu semata.

 

Pendekatan kewenangan penentuan batas wilayah daerah otonom.

Dalam NKRI, pembentukan  suatu daerah otonom ditentukan melalui UU, dengan demikian batas wilayah administratifpun ditentukan melalui UU. Apapun yang ditentukan oleh Pemerintah Pusat mengenai batas wilayah administrative melalui UU, merupakan sebuah keputusan final. karena pemilik wilayah negara adalah tunggal yakni NKRI, daerah Otonom hanyalah pengelola wilayah administrative, yang merupakan batas penerapan produk hukum setempat, pelaksanaan pemerintahan dan aktivitas pembangunan, yang kesemuanya bertanggungjawab dalam mensejahterakan masyarakat setempat. Persoalan batas wilayah provinsi Jambi disebelah timur dengan disebelah selatan Kepri terletak dan berawal pada tidak adanya kepastian hukum dari penentuan batas wilayah tersebut. Dalam arti pemerintah pusat tidak membuat sebuah norma yang benar-benar secara nyata mampu diterapkan dilapangan (Non Aplicated norm), selalu memunculkan norma yang multitafsir. Inilah yang selalu memunculkan saling klaim antara provinsi Jambi, Riau dan Kepri. Sebagai contoh dalam UU pembentukan Kabupaten Tanjung Timur ditentukan : bahwa Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebelah utara berbatas dengan laut Cina selatan. Berdasarkan ketentuan ini  dapat ditafsirkan bahwa sebagian wilayah Riau (sekarang Kepri), menjadi bagian dari Kabupaten Tanjabtim, karena secara demografis laut Cina Selatan berada di sebelah utara pulau Natuna. Ini berarti juga dapat ditafsirkan bahwa Pulau Berhala masuk ke dalam wilayah Provinsi Jambi.  Selanjutnya dalam UU No 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepri Pasal 5 ayat 1 c. Provinsi Kepri, sebelah selatan berbatas dengan Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi;  (2) Batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dituangkan dalam peta yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari undang-undang ini. (3) Penentuan batas wilayah Provinsi Kepulauan Riau secara pasti di lapangan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

Pasal 3 : Provinsi Kepulauan Riau berasal dari sebagian wilayah Provinsi Riau yang terdiri atas: (Kabupaten Kepulauan Riau, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kota Batam, dan Kota Tanjung Pinang).

Berdasarkan Undang-undang ini, Status Pulau Berhala menjadi  lebih jelas, karena berdasarkan penjelasannya dinyatakan bahwa Pulau Berhala tidak termasuk ke dalam Provinsi Kepri. Akan tetapi  setelah dibentuknya Kabupaten Lingga melalui UU No.31 tahun 2003, ditentukan bahwa Kabupaten Lingga sebelah selatan berbatasan dengan Laut Bangka dan Selat Berhala, maka terjadi lagi ketidakpastian hukum tentang status pulau berhala. Salah satu kelemahan yuridis dari Undang-undang ini adalah tidak membuat definisi yuridis tentang apakah yang dimaksud dengan Selat Berhala dan dimana posisi selat tersebut, apakah berada antara pulau berhala dengan kepulauan lingga atau antara Pulau Berhala dengan pantai  Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Berdasarkan Peta yang dibuat oleh Pemerintah Kolonial Inggris ”Berhala Straat” terdapat antara Pulau Berhala dengan kepulauan Lingga. Namun pada Akhir Pemerintahan Kolonial Belanda Selat Berhala berada antara pulau berhala dengan pantai Unjung Jabung. Akan tetapi hal ini hanyalah merupakan peta-peta demografis yang belum dikukuhkan secara yuridis. Sehingga dipandang tidak mempunyai makna yuridis yang dapat dipertahankan oleh pihak yang bersengketa.  

 

Ketika sebuah UU baru hadir, mengatur substansi  yang sama, maka berlaku asas hukum ”Lex Posteoriori derogat Lex Priori”. UU yang baru mengalahkan UU terdahulu. Dalam konteks keberadaan UU Kabupaten Lingga, membuat posisi Pemerintah Kepri diuntungkan. Posisi Peraturan Mendagri yang meletakkan posisi Pulau Berhala berada pada wilayah administrtif Provinsi Jambi, jelas merupakan produk hukum yang lemah bila dihadapkan dengan UU. Oleh karena itu cukup beralasan jika MK mengabulkan permohonan Pemrov. Kepri.

Berdasarkan fakta yuridis ini, kita tidak dapat menyalahkan siapapun termasuk Gubernur Jambi saat ini, kecuali kita menyesali mengapa Pemerintah Pusat sebagai pembuat UU dan sebagai pihak yang berwenang menentukan batas wilayah tidak hati-hati dan tidak konsisten serta telah membuat norma yang kabur dalam menetapkan batas wilayah (Provinsi/kabupaten), akibatnya daerah berserumpun ini telah bersengketa. Apalah daya seorang Gubernur jika berhadapan dengan kekuasaan Pemerintah Pusat, jelas berada dalam posisi yang lemah, walaupun telah berupaya sekuat tenaga. Jika kita ingin juga mencari kambing hitam, yang mungkin sasarannya adalah para anggota DPR RI yang berasal dari Jambi, yang masih aktif ketika UU No. 31/2003 terbentuk. mengapa tidak terlihat berupaya agar pasal yang  telah memasukkan status Pulau Berhala ke dalam wilayah Provinsi Jambi pada UU No. 25/2002, tetap dipertahankan. 

 

Anggapan terhadap Gubernur Jambi (HBA), sebagai Gubernur yang gagal adalah suatu anggapan yang berlebihan dan tidak berdasarkan fakta. Beberapa alasan dapat dikemukakan : Pertama,   tentang batubara, dilihat dari aspek tanggungjawab merupakan tanggungjawab pemberi izin pertambangan. Sebelum izin diberikan kepada seseorang pengusaha, seharusnya telah dikaji berbagai dampak lingkungan yang timbul termasuk terhadap penggunaan jalan raya. Izin pertambangan berada pada Pemerintah Kabupaten. Dalam konteks ini sangat tidak beralasan jika  Gubernur dianggap sebagai pihak yang paling bertanggungjawab. Kedua, tentang lemahnya bargaining position dengan Pempus. Apakah kita menutup mata bahwa selain masa Gubernur Maschun Sofwan. Masa HBA telah menempatkan Provinsi Jambi sebagai salah satu anak emas di Republik ini, ini ditandai dengan : Pertama, tidak pernah seorang Presiden menginap di Jambi dan dengan waktu yang cukup lama tidak kurang empat hari kerja. Kedua, APBD Provinsi Jambi pada tahun ini meningkat tajam dari lebih kurang Rp. 1,2 trilyun menjadi lebih kurang Rp. 2,6 trilyun. (lebih dari seratus persen). Pengembangan pembangunan bandara mendapat bantuan pusat sebesar ratusan milyar. Demikian juga pembangunan pelabuhan ujung jabung. Perbaikan jalan provinsi juga telah dilaksanakan dengan baik.Semua ini apakah tidak menunjukkan keberhasilan seorang Gubernur ?. apa lagi kalau ditinjau dari pertumbuhan ekonomi yang melampaui rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional.     

 

Pulau Berhala bukan segala-galanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: