>

Orasi Ilmiah Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa Bidang Ilmu Komunikasi dan Dakwah

Orasi Ilmiah Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa Bidang Ilmu Komunikasi dan Dakwah

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo, Semarang, pada 8 Juli 2013 (1)

Dakwah bil Hal: Korporatisasi Usaha Individu Umat Menuju Indonesia Maju

Oleh Dahlan Iskan

ISTILAH  \"dakwah bil hal\" yang sudah begitu populer ternyata merupakan istilah yang hanya digunakan di Indonesia, yang kemudian merembet ke Malaysia. Sebagaimana istilah \"halal bil halal\", istilah \"dakwah bil hal\" bukan istilah yang dikenal di dunia Islam di Timur Tengah.

Bahkan, istilah \"dakwah bil hal\" ternyata baru mulai populer sejak 1970-an. Berbagai sumber ulama dan intelektual Islam Indonesia membenarkan itu. Namun, tidak ada yang tahu siapa yang memulai menggunakannya. Prof Dr KH Quraisy Shihab, ahli tafsir Alquran yang semula dikira sebagai ulama pertama yang menggunakan istilah \"dakwah bil hal\", mengirim jawaban dari luar negeri sebagai berikut: bukan saya yang pertama memopulerkan istilah itu. Rasanya MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang memopulerkannya.

Prof Dr Amin Aziz yang zaman itu menjadi tokoh muda intelektual Islam yang mulai ikut berkecimpung di MUI juga tidak ingat persis siapa orang pertama yang melahirkan istilah \"dakwah bil hal\". Yang jelas, Ketua Umum MUI saat itu dijabat oleh Prof Dr KH Hasan Basri, semoga Allah SWT memberikan surga terbaik untuk almarhum.

Tapi, dari hasil penelusuran saya, patut diduga istilah \"dakwah bil hal\" itu terucapkan kali pertama oleh intelektual muda yang juga mulai aktif di MUI zaman itu. Namanya Dr Effendy Zarkasi. Setidaknya itulah yang diduga oleh tokoh yang juga sangat aktif dan terlibat dalam kegiatan pemberdayaan umat Adi Sasono.

Awal 1970-an adalah masa di mana gejolak politik di Indonesia luar biasa mencekamnya. Ini buntut dari peristiwa G-30-S pada 1965 yang menghadapkan golongan Islam dengan golongan komunis. Pada masa itu banyak pemikiran yang muncul untuk menyikapi akan dikemanakan masa komunis yang begitu besar yang pada umumnya rakyat miskin biasa.

Di pihak lain, pada awal Orde Baru, terutama menjelang pemilu model Orba yang ditandai dengan keharusan dimenangkannya Golkar, gerak para pendakwah dipersempit. Singa-singa podium mengalami hambatan untuk berorasi.

Maka, sebagai salah satu sikap moderat untuk keluar dari jepitan dua situasi itu, dicarilah istilah yang enak terdengar untuk kalangan penguasa, sekaligus konkret hasilnya bagi rakyat jelata. \"Dakwah bil hal\" diharapkan bisa menjawab pertanyaan mengapa begitu besar rakyat kita yang miskin yang akhirnya memilih partai komunis daripada menjadi pemeluk Islam yang baik. Tentu kenyataan itu dianggap sebagai bukti kegagalan misi dakwah Islam.

Sudah tentu, tercapai juga tujuan lain yang lebih taktis. Dengan lebih banyak mewacanakan dakwah bil hal, konotasi kata \"dakwah\" yang waktu itu terdengar identik dengan suara anti penguasa Orde Baru bisa lebih lunak diterima oleh telinga penguasa.

Maka, sudah pada tempatnya bila MUI mencari jalan yang lebih taktis. Sebagai lembaga yang \"terjepit\" di tengah-tengah antara ulama Islam dan penguasa, tidak ayal bila MUI harus mencari \"jalan lain\" yang lebih bisa diterima semua pihak. Seislam-islamnya MUI, waktu itu, adalah Islam yang bisa diterima penguasa. Sebaliknya, sedekat-dekatnya dengan penguasa, MUI masih merupakan representasi ulama Islam.

Posisi MUI di awal-awal Orde Baru memang memiliki tempat yang khusus di mata penguasa, karena, antara lain, untuk menjadi ketua MUI memang harus mendapat restu penguasa. Bahkan, tidak jarang MUI dituduh sebagai \"alat penguasa\".

Dalam hal ini bisa jadi istilah \"dakwah bil hal\" lahir sebagai penerapan satu prinsip ushul al fiqh ini: Maa laa yudraku kulluh laa yutraku kulluh, sesuatu yang tidak bisa dipakai semua jangan ditinggalkan semua.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: