Tinggal di Negeri Jiran, Jiwa Tetap Merah Putih

Tinggal di Negeri Jiran, Jiwa Tetap Merah Putih

 \"Ada 15 kepala keluarga di kampung ini yang tinggal di wilayah Malaysia,\" ujar Anwar, salah seorang warga yang tinggal tepat di belakang pos penjaga perbatasan itu.

 Mereka tinggal menyebar hingga radius beberapa puluh meter dari patok perbatasan. Puluhan tahun lamanya mereka bermukim di negeri jiran tanpa gangguan keamanan maupun administrasi keimigrasian. Tentara Diraja Malaysia tidak pernah mempermasalahkan keberadaan warga Indonesia di wilayah mereka.

 \"Saya sudah 27 tahun tinggal di sini. Tidak pernah sekalipun ditegur, apalagi diusir tentara Diraja Malaysia. Mereka baik-baik,\" tutur Anwar.

 \"Kalau mereka berkunjung ke rumah, sering. Tapi biasa saja. Paling cuma mau ngecek patok,\" tambahnya.

 Selebihnya, tentara penjaga perbatasan itu hanya mengajak ngobrol ngalor-ngidul untuk mengusir rasa bosan. Maklum, tidak banyak warga Malaysia yang tinggal di Sebatik. Salah seorang tentara perbatasan menyebutkan, hanya ada dua keluarga sipil Malaysia yang tinggal di Sebatik. Selebihnya adalah tentara Malaysia dan warga Indonesia.

 Anwar menyatakan, meski tinggal di wilayah Malaysia, tidak sekalipun dirinya ingin menjadi warga negara tersebut. \"Ini negara (Indonesia) tumpah darah saya,\" tegasnya.

 Lagi pula, 12 anak dari lima istrinya juga tinggal di Indonesia. Sudah banyak anaknya yang mentas dan bekerja di provinsi lain di wilayah Indonesia.

 Menurut pria 60 tahun itu, hidup di Sebatik tidaklah begitu sulit seperti yang dibayangkan orang. Meskipun, perhatian pemerintah Indonesia sangat minim terhadap warganya di pulau perbatasan tersebut. Kalaupun ada satu hal yang sulit, itu adalah minimnya fasilitas kesehatan di pulau tersebut. Hanya ada dua puskesmas dan beberapa klinik sederhana.

 Karena itu, jika ada warga yang sakit parah dan harus berobat ke luar negeri, mereka mesti dibawa ke Tawau, Malaysia. Jaraknya hanya 8 kilometer dan bisa ditempuh dalam waktu sejam pelayaran.

 Warga Sebatik tidak pernah mengalami kesulitan untuk pergi ke Tawau. Mereka memiliki kartu pelintas batas yang memungkinkan WNI bepergian ke kota kecil itu kapan pun. Namun, sebatas di Tawau. Di luar itu, mereka harus menunjukkan paspor.

 Tentara Diraja Malaysia pun cukup toleran. Jika ada pasien gawat darurat dari Indonesia dan harus dibawa ke Tawau, kartu pelintas batas tidak perlu ditunjukkan.

 Warga Sebatik mengakui, layanan RS di Tawau sangat bagus dan biayanya murah. \"Kalau di sini (Sebatik), obatnya tidak mempan,\" tutur Anwar. Tidak jarang anak-anak Pulau Sebatik lahir di RS Tawau, yang berarti mereka dilahirkan di Malaysia.

 Di luar persoalan fasilitas kesehatan, tidak banyak hal yang dikeluhkan warga. Semua kebutuhan sehari-hari tercukupi dengan membelinya di Malaysia. Mulai gas elpiji, beras, minyak, dan komoditas-komoditas penting lainnya. Para pedagang menggunakan kartu pelintas batas untuk kulakan di Tawau.

 Anwar sehari-hari bekerja sebagai petani. Buah-buahan yang dihasilkan di kebun dia jual ke Malaysia dan ditukar dengan barang kebutuhan pokok. \"Kalau ada barang dari Indonesia, pasti sudah habis dulu di Tarakan,\" lanjutnya. Karena itu, dia sudah tidak berharap ada suplai dari Indonesia.

 Bagi Anwar, dan juga warga Sebatik lainnya, yang terpenting jangan sampai suatu saat muncul larangan membeli kebutuhan pokok dari Malaysia seperti yang selama ini mereka lakukan. Kecuali, pemerintah bisa menjamin ketersediaan komoditas Indonesia di pulau itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: