Jadi Perhatian di Belanda, Terlupakan Oleh Negara

 Jadi Perhatian di Belanda, Terlupakan Oleh Negara

 Dalam catatan sejarah yang tertulis di monumen, 600 bom meriam membombardir kawasan itu. Jumlah tersebut diketahui dari lubang dan sisa peluru meriam yang ditemukan di lokasi. Dari kejadian itu, 786 orang ditemukan tewas.

 Yang mengerikan, menurut Suwito dan saksi lain, potongan tubuh kala itu tercecer di mana-mana. Termasuk di pohon dan terbawa arus sungai yang deras setelah semalamnya hujan.

 Selain Suwito, dalam ekspedisi ini Jawa Pos menemui korban tertua, yakni Ahmad Supian. Dalam dokumen kependudukan, Supian disebutkan lahir pada 1918. Namun, dia mengaku berusi 98 tahun. Dia adalah salah seorang korban selamat dengan luka yang cukup parah. Pantatnya terkena serpihan mortir hingga tersayat cukup dalam. \"Nggih kados roti diiris ngoten (Ya seperti roti diiris gitu, Red),\" ungkap Supian menggambarkan kondisi pantatnya.

 Serangan kanon tersebut membuat warga kocar-kacir. Ada yang berupaya lari ke arah desa lain sejauh-jauhnya. Ada yang sempat bersembunyi di gua Sigedong yang jaraknya dari pusat pasar sekitar 2 km. Kebanyakan mereka yang mengungsi baru berani kembali berbulan-bulan kemudian.

 Desa Candi menjadi sasaran kemarahan Belanda karena kawasan tersebut menjadi dapur umum untuk para pejuang yang didirikan secara sukarela oleh warga.

 Peneliti sejarah asal Kebumen Ravie Ananda menjelaskan, Belanda menganggap, dengan diluluhlantakkannya kawasan Candi, para pejuang bakal mengalami kesulitan logistik.

 Sayangnya, luluh lantaknya Desa Candi nyaris tidak berbekas. Penanda yang ada hanyalah sebuah tugu sederhana. Itu pun bukan dibangun pemerintah daerah yang seharusnya wajib merawat sejarah tersebut. \"Awalnya, untuk memperingati kejadian itu, dibangun tugu oleh warga dari batu cadas sederhana,\" ujar Ravie yang juga pendiri komunitas pengingat sejarah, Wahyu Pancasila, itu.

 Namun, kemudian eks Tentara Pelajar seksi 332, 333, 335, dan 336 membangun monumen baru pada 1990-an. Monumen tersebut berbentuk sederhana, seperti sebuah tugu yang menjulang dengan di atasnya terdapat replika kanon. Ravie menyatakan, selain monumen itu, tidak ada upaya lain dari pemerintah untuk membangun napak tilas sejarah di Desa Candi.

 

 Kali Progo

 Jika Desa Candi diluluhlantakkan karena adanya dapur umum, tragedi di Jembatan Kali Progo, Temanggung, Jawa Tengah, berbeda lagi. Jembatan di jalan raya Desa Kranggan itu menjadi saksi bisu pembantaian terhadap pejuang maupun warga sipil yang dianggap membahayakan posisi Belanda.

 Pembantaian di Temanggung dilakukan Belanda salah satunya karena keluarnya surat perintah penyerbuan yang ditandatangani Kolonel Bambang Soegeng. Nama itu merupakan gubernur militer/panglima militer III sekaligus inisiator serangan balik terhadap Agresi Militer yang dilakukan Belanda sebelum adanya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar).

 Peran Bambang Soegeng itu setidaknya diketahui dari dokumen rahasia bernomor 4/S/Cop.I tanggal 1 Januari 1949. Dalam dokumen tersebut, Bambang memerintah Letkol Bahroen, Letkol Sarbini, dan Letkol Suharto untuk melakukan perlawanan secara serentak dan sehebat-hebatnya kepada Belanda agar dunia luar tahu bahwa negara Indonesia masih ada.

 Diduga, karena bocornya surat perintah dan adanya gerakan yang disusun Bambang itulah Belanda murka. Akhirnya, Temanggung yang menjadi wilayah Bambang menjadi sasaran kemarahan. Belanda menyerang sejumlah desa, meski tidak sedahsyat di Desa Candi, Kebumen.

 Kemarahan Belanda di kota itu kebanyakan dilakukan dengan mengambil orang-orang yang dianggap membahayakan, baik sipil maupun militer. Mereka disiksa dan dihabisi di atas Jembatan Kali Progo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: