Jadi Perhatian di Belanda, Terlupakan Oleh Negara

 Jadi Perhatian di Belanda, Terlupakan Oleh Negara

Pahlawan yang Terlupakan di Ladang Pembantaian

 Pahlawan bukan hanya mereka yang berada di garis depan medan pertempuran. Namun, juga para pejuang tidak dikenal dan warga sipil yang menjadi korban di ladang-ladang pembantaian demi mempertahankan kemerdekaan. Bersama tim dari Belanda, Jawa Pos menelusuri jejak mereka.

 

SELAIN monumen perjuangan, setiap negara yang pernah mengalami perang besar pasti memiliki tempat-tempat bersejarah yang menyimpan cerita kelam. Salah satunya adalah ladang pembantaian (killing fields).

 Di Indonesia, selama ini yang banyak dibicarakan adalah ladang pembantaian Rawagede, Kerawang, Jawa Barat. Itu pun ramai diberitakan setelah pengadilan di Den Haag memutus pemerintah Belanda harus bertanggung jawab atas kejadian tersebut pada September 2011.

 Kemenangan itu pun merupakan buah gugatan sebuah yayasan, bukan dilakukan pemerintah Indonesia. Rawagede hanyalah satu di antara sekian banyak tragedi kelam yang tidak teperhatikan. Meskipun, negara ini sejatinya telah menikmati lebih dari 68 tahun kemerdekaan.

 Melalui sebuah ekspedisi bersama peneliti dari Indonesia dan Belanda, Jawa Pos berusaha mengingatkan kembali bahwa banyak nyawa rakyat Indonesia yang menjadi korban untuk mempertahankan kemerdekaan. Terutama pada masa Agresi Militer Belanda I dan II. Beberapa daerah yang menjadi medan pembunuhan masal itu kami datangi. Antara lain, Kebumen, Temanggung, dan Malang.

 Kebumen tidak bisa dipisahkan dari pergolakan perang, baik selama merebut maupun mempertahankan kemerdekaan. Peristiwa tragis yang terjadi di kota itu adalah tragedi Cannonade pada Minggu 19 Oktober 1947. Kejadian tersebut berupa tembakan meriam bertubi-tubi ke Desa Candi, Kecamatan Karanganyar.

 Ketika itu, terjadi penembakan dengan meriam di tengah pasar yang sedang ramai aktivitas masyarakat. \"Awale ono kapal mabur miring-miring. Ora suwi krungu suarane bom. Suittt... gleng... gleng... bleng (Awalnya ada pesawat yang terbang miring-miring. Tidak lama kemudian terdengar suara bom, suitt\" gleng...),\" ungkap Baniah, 72. Sejumlah saksi menyebutkan, kejadian itu memang diawali bom yang dijatuhkan dari pesawat capung.

 Baniah yang tercatat kelahiran 1941 itu merupakan salah seorang saksi sekaligus korban yang masih hidup. Cerita kelam tersebut meninggalkan luka di kaki kanan nenek 10 cucu dan seorang cicit itu. Saat kejadian tersebut, Baniah berusia sekitar 6 tahun. Dia sedang ditinggal ayah dan adiknya ngramban sayuran dan mencari kayu di bukit.

 Baniah mengaku memanjat pohon pepaya tidak jauh dari rumahnya saat pertama bom dijatuhkan dari pesawat. Dia takut mendengar ledakan dan lari mondar-mandir berupaya mencari perlindungan. Sebab, setelah asap mengepul dari bom pesawat, terjadi hujan peluru kanon.

 Baniah akhirnya memutuskan untuk masuk ke rumahnya. Tanpa disangka, di dalam rumahnya sudah banyak orang yang juga berusaha mencari perlindungan. Mayoritas terluka terkena serpihan peluru meriam. Mortir yang menghujani Kampung Candi itu ditembakkan dari kawasan Gombong yang terdapat benteng Belanda.

 Baniah dan sejumlah saksi lain yang usianya hampir sama mengungkapkan, kejadian itu berlangsung sekitar pukul 8 pagi. Mortir turun dari langit berkali-kali seperti air hujan yang semalam sebelumnya mengguyur daerah tersebut.

 \"Mortirnya berkali-kali turun. Baru berhenti menjelang duhur,\" papar Ahmad Suwito dalam bahasa Jawa. Pria yang mengaku kelahiran 1922 itu mengalami patah tulang karena kejadian tersebut. Dia terkena serpihan mortir. Luka itu membekas hingga kini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: