Pagi Latihan Tinju, Sore Tukang Parkir

Pagi Latihan Tinju, Sore Tukang Parkir

Sisi Suram Kehidupan Para Petinju Tanah Air

 Insiden ditembaknya mantan petinju nasional Mariangin Marbun oleh polisi karena aksi kriminal pekan lalu mengungkap sisi kelam dunia tinju tanah air. Tak hanya bertarung untuk gelar di atas ring, para petinju juga harus bertarung tanpa henti di alam nyata, untuk hidup.

 Maximus Nahak Berek adalah petinju pemegang sabuk juara nasional kelas welter (66,7 kilogram) di empat badan tinju Indonesia. Dengan prestasi mentereng seperti itu, seharusnya dia mendapat kehidupan yang layak.

 Namun, saat Jawa Pos mengiringi aktivitasnya seharian pekan lalu, faktanya tak demikian. Di luar rutinitas latihan tinju pagi-sore di Sasando BC Tangerang, bapak satu anak itu harus pontang-panting di jalanan sebagai koordinator parkir di kawasan Pemkot Tangerang. Kadang-kadang, kalau ada yang membutuhkan jasa pengamanan pribadi, misalnya salah satu tokoh masyarakat, Maxi pun turun tangan.

 \"Ya memang kalau tak cari jalan di luar tinju pro, kami mati, Bang. Bayaran tinju berapa sih\" Kami saja naik ring tak mesti dua bulan sekali. Keluarga butuh makan tiap hari. Jadi, tinju pro itu jauh dari kata profesional,\" ujar Maxi.

 Maxi menerima bayaran bersih dari tinju di TVRI untuk 12 ronde sekitar Rp 3 juta. Padahal, proses latihan menuju pertandingan selama dua bulan membutuhkan biaya Rp 5 juta - Rp 6 juta.

 Maxi tak sendirian dalam dunia yang keras ini. Hampir semua petinju pro yang tak punya pekerjaan tetap hidup terlunta-lunta. Kalau tak bertinju, ya mereka melakukan apa pun untuk bisa hidup.

 Sekarang coba hitung berapa pendapatan sekali naik ring yang didapat para petinju. Dalam satu tahun belakangan, pertandingan tinju profesional digelar rutin oleh TVRI di Jakarta. Dari hasil wawancara dengan produser pelaksana tinju TVRI Azmul Fauzi, biaya produksi sekali perhelatan kurang lebih Rp 50 juta.

 Nah, biasanya dalam semalam, di Studio V TVRI digelar dua partai. Yakni, partai 6 ronde dan 12 ronde. Untuk tiap petinju yang bermain di enam ronde, \"keringat\" di atas ring dihargai Rp 1,5 juta sampai Rp 2 juta.

 Lalu, untuk partai utama atau partai perebutan sabuk juara nasional, bayaran tiap petinju Rp 4 juta sampai Rp 5 juta. Artinya, untuk empat petinju itu, dana yang dibutuhkan sudah Rp 14 juta.

 Setelah itu, promotor harus menyetor uang kepada badan tinju agar pertandingan tersebut dianggap sah. Besaran uangnya Rp 5 juta sampai Rp 7,5 juta. Uang tersebut digunakan badan tinju untuk membayar seorang wasit, tiga hakim, inspektur pertandingan, dan dokter ring.

 Kemudian, promotor juga membayar uang untuk izin keramaian kepada pihak berwajib sebesar Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta. Sementara untuk keamanan di sekitar ring tinju, ada delapan personel yang bertugas. Masing-masing dibayar Rp 100 ribu.

 Angka tersebut dihitung kalau menggelar partai skala nasional. Jika mengadakan partai kelas internasional, biayanya naik berlipat-lipat. Mengundang petinju kawasan Asia Tenggara, Filipina, dan Thailand, biaya minimal sekitar Rp 14 juta. Uang itu digunakan untuk biaya tiket pesawat PP, akomodasi, dan bayaran tinju.

 Kalau petinju Eropa atau Amerika yang bukan pemegang sabuk, biaya sekitar Rp 30 juta per orang. \"Makanya, kalau kocek tak tebal, jangan mendatangkan petinju Eropa atau Amerika. Cepat bangkrut,\" kata matchmaker Jimmy Theo, lalu tertawa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: