Tak Kena Diskriminasi meski 50 Tahun Lebih Tetap WNI
Sembari bekerja serabutan, Pak Ping \"sapaan akrab Pwa\" akhirnya bisa menyelesaikan pendidikan kedokteran dan kini menjadi salah seorang dokter mata terkenal di Mogi. \"Saya betah di sini karena tenang dan aman. Sesama orang Indonesia juga akrab,\" ujar Pak Ping yang masih kental dialek Suroboyo-nya.
Tiap bulan warga Indonesia di Mogi das Cruzes dan Sao Paulo Raya yang datang dari berbagai latar belakang pekerjaan dan agama, rutin berkumpul di rumah salah seorang warga. Terakhir mereka meriung di salah satu ruangan di kompleks masjid tempat keluarga Saleh Sumatri tinggal pada awal April lalu.
Kalau ada yang punya hajatan, misalnya pernikahan atau ulang tahun, mereka pun tak lupa datang. \"Ini bentar lagi kami juga kumpul untuk selamatan buat calon anak Pak Bayu (Bayu Setiawan, wakil direktur Indonesian Trade Promotion Center di Sao Paulo),\" ujar Ipah, istri Saleh, yang kebagian mengurusi makanan setiap kali warga Indonesia di Mogi dan Sao Paulo Raya berkumpul.
Yang juga membuat betah, tak ada istilah \"warga kelas dua.\" Dengan kata lain, diskriminasi. Liem menuturkan, meski lebih dari lima dekade tinggal di Mogi hanya berstatus permanent resident dengan tetap mempertahankan kewarganegaraan Indonesia, dia memperoleh hak yang sama dengan warga negara Brasil lain. Misalnya, hak memperoleh pensiun setelah berusia 65 tahun. Dana yang dia cicil selama bekerja dulu kini lancar diterima tanpa potongan apa pun dan tak dipersulit secara birokrasi. \"Yang membedakan warga negara dengan permanent resident itu tak perlu ikut wajib militer dan tak bisa kerja di instansi pemerintahan\" ujar Liem.
(*/c2/ca/bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: