>

Tak Kena Diskriminasi meski 50 Tahun Lebih Tetap WNI

Tak Kena Diskriminasi meski 50 Tahun Lebih Tetap WNI

 Ke Mogi das Cruzes, Kota dengan Komunitas Indonesia Terbesar di Brasil (1)

 SALEH Sumantri mengintip di balik pintu Gereja Crista Injili. Terdengar suara gitar dan senandung pujian dalam bahasa Indonesia di bangunan yang terletak agak di pinggiran Mogi das Cruzes, sebuah kota yang berjarak sekitar 46 kilometer dari Sao Paulo, itu. \"Mereka masih misa, kita tunggu sebentar,\" kata Saleh kepada Jawa Pos.

                Tak sampai 10 menit kemudian kebaktian berakhir. Satu per satu jemaah menghambur keluar dan segera saja kehangatan khas Indonesia menyeruak. Mulai yang sepuh hingga yang seumuran mahasiswa, laki-laki maupun perempuan, menyalami dengan ramah Saleh dan Jawa Pos.

                \"Ayo, masuk dan makan. Kami masak semur dan nasi goreng lho. Pokoknya tidak boleh menolak, ayolah...,\" kata kata Isaque Hattu, salah seorang jemaah, yang diiyakan rekan-rekan segerejanya yang lain, sembari mendorong dengan pelan pundak Saleh dan Jawa Pos dari belakang.

                Atmosfer keindonesiaan memang sangat kental di Gereja Crista Injili. Dari sekitar 100 jemaah, mayoritas adalah warga Indonesia dan keturunannya yang bermukim, bekerja, atau tengah menuntut ilmu di Mogi das Cruzes.

                Di Brasil, Mogi das Cruzes memang kota dengan komunitas Indonesia \"baik yang masih memegang paspor Indonesia maupun telah berganti kewarganegaraan Brasil\" terbesar. Diperkirakan ada 400 orang dari total penduduk Mogi yang mencapai lebih dari 387 ribu jiwa.

                Alhasil, hampir di tiap \"tikungan\" municipio yang masuk wilayah Negara Bagian Sao Paulo itu, bisa ditemukan orang Indonesia. Jawa Pos yang diajak Saleh berkeliling kota dari pagi sampai sore pada Minggu lalu (13/4), berjumpa dengan mereka di masjid, pasar, toko, bahkan ketika berhenti di sebuah perempatan karena lampu merah.

                Tidak diketahui pasti kapan persisnya orang Indonesia pertama yang menginjak Mogi. Tapi, Liem Jhie Liong, sesepuh warga Indonesia di kota tempat kelahiran bintang Brasil Neymar tersebut mengingat, ketika dia sampai di sana pada 1960, sudah ada kompatriotnya yang lebih dulu bermukim. \"Mungkin akhir 1950-an mulai ada orang kita di sini. Saya ke sini pun karena diajak seorang teman yang punya usaha distribusi barang,\" kenang Liem.

                Kisah pria asal Surabaya itu barangkali mewakili kegigihan warga Indonesia di Mogi yang membuat mereka, meminjam istilah Liem, \"bisa makan dengan layak\" kini. Lima puluh empat tahun silam, Liem yang datang ke Mogi membawa istri dan ketiga anaknya, belakangan menyadari bahwa cerita temannya tentang bisnis distribusi ternyata tak seindah yang dia dengar sebelumnya.

                Patungan dengan sang teman, Liem lantas membeli sebuah truk tua untuk distribusi minuman bersoda. Tapi, apes menghampiri saat rem kendaraan berumur itu blong dan menabrak sebuah bangunan saat melintasi jalanan menurun. Kakek lima cucu itu lantas banting setir dengan mendirikan pabrik kerupuk, juga dengan modal patungan.

                \"Sebenarnya jalan, tapi keuntungannya kecil dan harus dimakan dua keluarga. Jadi, akhirnya kami jual lagi pabrik tersebut,\" kenang Liem yang menyisakan beberapa keponakan di Indonesia itu.

                Liem lantas beralih ke bursa saham. Semula usahanya lancar, tapi kemudian dia mengambil keputusan salah ketika menerima tawaran utang untuk membeli saham. \"Harta saya hampir habis untuk melunasi. Tapi, untungnya, dengan kerja keras bertahun-tahun, saya bisa membereskannya dan anak-anak tetap bisa sekolah dengan baik,\" ujar Liem yang bersama sang istri bertahan sebagai warga negara Indonesia (WNI).

                Pada dekade 1960-an, perekonomian Indonesia memang semrawut. Inflasi tinggi, kelaparan di mana-mana, dan gontok-gontokan politik berlangsung sengit yang memuncak pada malapetaka 1965. Pascatragedi yang menewaskan ratusan ribu nyawa tersebut, sentimen negatif kepada kalangan warga Tionghoa meninggi.

                Pwa Kiong Ping adalah salah seorang warga Indonesia yang akhirnya memutuskan untuk meninggalkan tanah air pada periode suram tersebut dan mendarat di Mogi. \"Banyak teman yang memilih meninggalkan Indonesia. Saya memilih ke Mogi karena ada teman yang lebih dahulu berhasil di sini,\" kata Pwa yang berasal dari Genteng, Surabaya, tersebut saat ditemui di Mercado do Produtor, semacam pasar mingguan, di Mogi das Cruzes, itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: