BBM Naik, Waspada Perlambatan Ekonomi Jambi
Dari sektor perhotelan, diketahui bahwa apabila BBM naik jelas akan berdampak pada bisnis perhotelan, ini dikarenakan bisnis perhotelan menkonsumsi BBM cukup besar. Dampak dari naiknya BBM akan langsung dirasakan, khususnya untuk operational hotel, namun demikian apabila BBM naik, diprediksikan tarif hotel tidak akan naik terlalu besar, mengingat persaingan antar satu hotel dengan hotel yang lainnya. \"Pastinya akan ada pembahasan terlebih dahulu untuk manaikkan harga hotel, dan melihat pelaku usaha hotel lainya,\" sebut Iman, Manege Operational Cosmo Hotel.
Penurunan ICP Jadi Momen Tepat Untuk Naikkan BBM
Polemik kenaikan harga BBM bersubsidi masih menjadi perbincangan hangat. Pasalnya, hal tersebut diperkirakan mendorong kinerja ekonomi Indonesia terutama dalam energi terbarukan. Terkait waktu penerapan, saat ini momen yang tepat untuk menaikkan harga seiring harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) yang terus menurun. Sehingga, selisih antara BBM bersubsidi bakal semakin mengecil.
Menurut laporan Tim Harga Minyak Indonesia, rata-rata ICP pada Agustus 2014 mencapai USD 99,51 per barel. Angka tersebut turun 4,8 persen atau USD 5,12 per barel dari rata-rata ICP Juli 2014 senilai USD 104,63 per barel. Penurunan tersebut juga terjadi pada harga minyak mentah jenis Minas/SLC (Sumatran Light Crude). Rata-rata Agustus untuk produk tersebut terpangkas USD 5,06 per barel. Dari USD 105,6 per barel pada Juli 2014 menjadi USD 100 per barel.
\"Ini sejalan dengan perkembangan harga minyak mentah utama di pasar internasional yang diakibatkan oleh beberapa faktor. Misalnya, laporan OPEC dan International Energy Agency (IEA) bahwa kilang-kilang pengolahan minyak mentah beroperasi tinggi. Sehingga, pasokan beberapa jenis produk mengalami peningkatan,\" ungkap mereka dalam keterangan tertulis kemarin(2/9).
Mereka menambahkan, produksi minyak mentah OPEC pada Juli 2014 mengalami kenaikan sebesar 167 ribu ton barel per hari (bph) dibandingkan dengan Juni 2014. Sedangkan, IEA melaporkan produksi minyak mentah dunia di bulan Juli 2014 naik menjadi 93,04 juta barel per hari (bph). Itu lebih tinggi sebesar 230 ribu bph dibanding bulan sebelumnya.
\"Sedangkan, proyeksi OPEC Agustus terkait permintaan minyak mentah 2014 turun sebesar 20 barel per hari (bph) dibanding dengan proyeksi pada bulan sebelumnya. Demikian pula pertumbuhan permintaan bahan bakar 2014 yang diproyeksikan mencapai 1,1 juta bph. Itu lebih rendah 0,03 juta bph dibandingkan proyeksi pada bulan sebelumnya,\" tambah mereka.
Pengamat Energi Ibrahim Hasyim mengatakan, hal tersebut sebenanrya menjadi momen yang tepat untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Sebab, dengan tren menurunnya minyak mentah, harga BBM secara keekonomian juga ikut turun. Dengan kondisi itu, kenaikan harga BBM bisa lebih efektif.
\"Secara hukum ekonomi memang harusnya begitu. Karena dengan begitu selisih harga antara BBM bersubsidi dan BBM non subsidi bisa lebih kecil. Kalau dinaikkan, akan terjadi disparitas yang tipis sehingga masyarakat menengah ke atas pun berpindah mengonsumsi BBM non subsidi,\" jelasnya.
Menurutnya, selisih harga Rp 2 ribu per liter diakui sudah cukup efektif untuk menjaga kuota BBM dari jebol. Setidaknya, hal tersebut bakal membuat penyelundup BBM bersubsidi berpikir dua kali. Dengan harga minyak mentah semakin yang semakin menurun, bukan tidak mungkin harga BBM non subisid bisa seperti Pertamax mencapai Rp 10 ribu per liter. Sehingga, pemerintah hanya perlu menaikkan Rp 2.500 dari harga saat ini.
\"Hal ini tentu saja harus dilakukan secara bertahap. Tidak bisa secara langsung. Dan saat ini memang saat yang tepat. Karena pasar minyak mentah dunia sudah stabil. Negara Timur Tengah yang dulu bisa memainkan harga sekarang sudah mendapat penyeimbang dari Amerika Serikat (AS),\" ungkap pria yang menjabat sebagai Anggota Komite Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas itu.
Dia menegaskan, upaya menaikkan harga BBM bersubsidi tidak ada hubungannya dengan penanggulangan overkuota tahun ini. Melainkan, perbaikan kinerja energi untuk tahun ke depan. Sehingga, sudah seharusnya pemerintah lebih berani dalam menerapkan kebijakan.
\"Ruang fiskal yang dilonggarkan itu kan bukan hanya untuk memperbaiki postur APBN. Tapi bisa dgunakan untuk mendorong penggunaan energi alternatif. Mulai dari BBG dan BBN yang sampai sekarang belum dimaksimalkan pemanfaatannya. Tapi, pemerintah selalu punya pertimbangan lainnya saat memutuskan hal seperti ini. Seharusnya dilihat dari sudut pandang jangka panjang,\" jelasnya.
(bil/kar/run)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: