ANKARA – Recep Tayyip Erdogan mempertaruhkan jabatannya. Jika strategi politiknya jitu, dia akan kembali menjabat sebagai presiden Turki. Tapi jika kalah, dia terpaksa membiarkan lawannya memiliki kekuasaan yang jauh lebih besar ketimbang saat dirinya menjabat. Itu disebabkan sistem pemerintahan Turki bakal berubah.

Untuk kali pertama, kemarin (24/6) Turki menggelar dua pemilihan umum (pemilu) sekaligus. Yakni, pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif nasional. Pengamanan di tempat pemungutan suara (TPS) di kota-kota besar berlipat ganda. Sebab, pesta demokrasi tersebut dihelat dalam status darurat. Sejak kudeta gagal pada 2016 hingga sekarang, Erdogan masih memberlakukan status darurat di Turki.

”Pemungutan suara berjalan lancar dan damai,” kata Menteri Kehakiman Abdulhamit Gul setelah memberikan suaranya di TPS Gaziantep. Kepada Reuters, dia menyatakan bahwa pemerintah sengaja mengerahkan sejumlah besar aparat di kawasan tenggara. Sebab, mayoritas penduduk di sana adalah kaum Kurdi.

Dalam kampanye terakhirnya Sabtu (23/6), Erdogan menegaskan bahwa menjadi presiden bukanlah perkara mudah. Karena itu, dia mengimbau rakyat Turki kembali memilih dirinya. Sebab, jika dibandingkan dengan lima kandidat lainnya, dia punya lebih banyak pengalaman. Sebelum menjadi presiden pada 2014, Erdogan sebelas tahun duduk di kursi PM.

”Dibutuhkan banyak pengalaman (politik) untuk menjadi presiden. Menjadi guru olahraga tidak sama dengan memimpin negara,” paparnya di hadapan pendukungnya. Kalimat itu dia lontarkan untuk Muharrem Ince. Kandidat yang diusung Partai Rakyat Republik (CHP) itu adalah pesaing utama Erdogan. Karena itu, wajar jika tokoh 64 tahun tersebut terus menyerang Ince, politikus yang mantan guru olahraga.

Jika terpilih kembali sebagai presiden, Erdogan berjanji untuk meningkatkan proyek infrastruktur Turki. Dengan demikian, perekonomian negara tersebut kian menggeliat. Saat ini, nilai tukar lira Turki terhadap dolar AS anjlok. Selain itu, angka inflasi mencapai 11 persen. Fakta tersebut membuat masyarakat mengeluh karena beban perekonomian mereka terlalu besar.

Namun, tidak akan mudah bagi Erdogan kembali duduk di kursi presiden selama lima tahun ke depan dan mengendalikan pemerintahan dengan sistem presidensial. Oposisi Turki kali ini sepakat menghadang kemenangan sang pemimpin. Karena itulah, oposisi yang bersatu dalam Aliansi Kebangsaan mencalonkan lima kandidat untuk ”mengeroyok” Erdogan.

Oposisi berharap lima kandidat itu bisa memecah perolehan suara Erdogan. Apabila nanti tidak ada kandidat yang memperoleh suara lebih dari 50 persen, pilpres akan berlanjut pada putaran kedua. Rencananya, pilpres putaran kedua dilaksanakan pada 7 atau 8 Juli. Jika itu terjadi, oposisi sepakat mendukung kandidat yang punya suara paling banyak.

Sejauh ini, Ince menjadi kandidat oposisi dengan dukungan terkuat. Dia berjanji untuk mencabut status darurat Turki dalam 48 jam pertama setelah terpilih menjadi presiden. Di hadapan para pendukungnya di Istanbul pada Sabtu (23/6), dia menegaskan bahwa pemerintahannya akan mempertimbangkan ulang perubahan sistem pemerintahan yang disepakati dalam referendum 2017.

Selain Ince, kandidat oposisi lain yang berpeluang menang adalah Meral Aksener. Perempuan 61 tahun yang pernah menjabat menteri dalam negeri tersebut diunggulkan oleh kaum hawa. Jika menang, Aksener akan menjadi perempuan pertama yang menjadi presiden Turki. ”Saya sungguh-sungguh berharap pemilu ini akan mendatangkan keuntungan bagi rakyat banyak,” harapnya seperti dikutip BBC.

Total, pemilih dalam pemilu kemarin berjumlah 59 juta orang. Mereka terdiri atas 56 juta pemilih di dalam negeri dan 3 juta pemilih yang tinggal di luar Turki.

Para pemilih di dalam negeri punya waktu sekitar sembilan jam untuk memberikan suara mereka di TPS-TPS yang sudah disediakan. Mereka berhak memilih presiden dan anggota parlemen nasional yang berjumlah 600 orang.

(hep/c6/oki)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: