Dirut PalmCo Jatmiko Santosa : Kolaborasi Kunci Wujudkan Ketahanan Pangan dan Energi

Dirut PalmCo Jatmiko Santosa : Kolaborasi Kunci Wujudkan Ketahanan Pangan dan Energi

Dirut PalmCo Jatmiko Santosa : Kolaborasi Kunci Wujudkan Ketahanan Pangan dan Energi--

BACA JUGA:Sukses Digelar Setelah 3 Dekade Vakum, PTPN IV PalmCo Dukung PSSI Hadirkan Kembali Piala Kemerdekaan

Keberhasilan model kemitraan ini terlihat dari produktivitas tanaman menghasilkan (TM) plasma yang mencapai rata-rata 12,57 ton/Ha, bahkan ada yang mencapai 18,05 ton/Ha, melampaui standar nasional 12 ton/Ha.

"Peremajaan sawit rakyat (PSR) adalah kunci. Tanpa itu, kita akan kehilangan daya saing sekaligus melemahkan kontribusi sawit bagi ketahanan pangan dan energi. Dan melalui forum ini, kami berharap ke depan kita akan saling berkolaborasi dan bersinergi untuk bersama-sama memperkuat inisatif ini," jelas Jatmiko yang disampaikannya menggunakan bahasa Inggris. 

Jika kolaborasi untuk intesifikasi tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka bukan hanya ketahanan pangan dari sektor sawit yang dapat di wujudkan, melainkan target pemerintah dalam implementasi B50 pada 2027 bisa terpenuhi.

Untuk diketahui, target alokasi biodiesel B50 itu diperkirakan membutuhkan pasokan sekitar 20,11 juta kiloliter. 

BACA JUGA:Gelar Berbagai Perlombaan se Indonesia, PalmCo Kobarkan Semangat Karyawan di Momen Kemerdekaan

Lebih jauh, dalam paparannya, Jatmiko turut menyinggung bahwa perubahan iklim bukan lagi ancaman di masa depan, melainkan kenyataan yang berpotensi berdampak terhadap produktivitas pertanian global, termasuk komoditas kelapa sawit Indonesia.

Tantangan ini jika tidak disikapi dengan bijak, maka sejarah Indonesia yang pernah menjadi eksportir gula di tahun 1930-an silam, dan kini malah menjadi salah satu importir gula terbesar dunia, juga dikhawatirkan akan terjadi dengan komoditas CPO. 

Berdasarkan data yang ia paparkan, selama dekade 2015-2024 yang tercatat sebagai periode terpanas dalam sejarah, dengan konsentrasi CO? mencapai level tertinggi.

Dampaknya, setiap kenaikan suhu 1°C menurunkan hasil panen antara 3,1 hingga 7,4 persen sehingga memicu yang disebut sebagai 'climateflation'-kenaikan harga pangan akibat anomali iklim.

"Sehingga ini memerlukan solusi berkelanjutan yang hanya dapat diwujudkan melalui kolaborasi seluruh stakeholders, termasuk bapak ibu akademisi," tuturnya lagi.

BACA JUGA:Dari Masa ke Masa Fasilitas Pendidikan di PalmCo Jadi Tempat Tumbuh Anak Karyawan dan Warga Sekitar

Sebagai produsen minyak sawit mentah (CPO) terbesar dunia yang menyumbang sekitar 60% pasokan global, ia menyebut Indonesia memiliki peran krusial. Namun, industri ini menghadapi tantangan multidimensi.

Selain ruang perbedaan produktivitas antara petani dan korporasi yang tinggi, tekanan regulasi sustainability, khususnya dari Uni Eropa, juga semakin kompleks.

"Jadi selain kunci meningkatkan produktivitas petani, dan penguatan prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance) juga harus berjalan berkesinambungan,” tegas Jatmiko.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: