Strategi Adaptif Merek Global di Tengah Perang Dagang AS 2025
Syahmardi Yacob-Foto: Istimewa-
Oleh: Syahmardi Yacob*
Pendahuluan
Memasuki tahun 2025, tensi dagang global kembali memanas seiring diberlakukannya kebijakan tarif impor baru oleh pemerintah Amerika Serikat. Di bawah kepemimpinan Presiden terpilih yang menganut pendekatan ekonomi nasionalis, AS menetapkan kenaikan tarif impor hingga 25% terhadap berbagai produk strategis—mulai dari teknologi, kendaraan listrik (EV), hingga komponen manufaktur penting dari Tiongkok dan beberapa negara mitra lainnya. Keputusan ini, yang diumumkan secara resmi pada 3 Januari 2025, sontak mengguncang peta perdagangan global dan memaksa perusahaan multinasional untuk melakukan penyesuaian cepat, baik pada model bisnis maupun strategi pemasarannya.
Tarif baru ini merupakan bagian dari agenda “Revitalize America’s Industry Act 2025” yang bertujuan melindungi produsen dalam negeri dari persaingan global yang dinilai tidak adil. Namun, kebijakan tersebut justru memicu efek domino dalam ekosistem bisnis global. Data dari World Trade Organization (WTO, 2025) mencatat lonjakan ketidakpastian ekonomi internasional sebesar 16% dalam kuartal pertama tahun ini, disebabkan oleh hambatan tarif dan penurunan investasi lintas negara.
Dampaknya tidak terbatas pada neraca dagang atau hubungan diplomatik semata. Strategi komunikasi pemasaran menjadi salah satu aspek yang paling terdampak. Perusahaan kini dihadapkan pada tantangan bagaimana tetap mempertahankan loyalitas konsumen di tengah kenaikan harga, gangguan pasokan, dan perubahan persepsi terhadap merek yang produksinya berpindah ke negara lain. Dalam teori pemasaran strategis, ini menyentuh pada aspek repositioning dan adaptive branding—bagaimana merek mengelola citra dan nilai produknya dalam lingkungan pasar yang volatil dan tidak stabil (Kotler & Keller, 2022).
Selain itu, muncul pula tekanan untuk memodifikasi kampanye pemasaran secara real-time, yang menyesuaikan bukan hanya harga dan distribusi, tetapi juga narasi yang ditawarkan kepada publik. Misalnya, banyak merek kini mengedepankan komunikasi yang transparan seputar struktur biaya dan lokasi produksi, sebagai bagian dari strategi membangun kepercayaan dalam situasi krisis. Studi oleh Edelman Trust Barometer (2024) menunjukkan bahwa 78% konsumen global mengharapkan brand untuk menjelaskan secara terbuka alasan di balik perubahan harga atau produk, dan 64% mengatakan bahwa komunikasi yang jujur meningkatkan loyalitas mereka terhadap brand tersebut.
Dari perspektif ilmu pemasaran, perang dagang ini menjadi studi kasus nyata tentang ketahanan strategi merek (brand resilience). Perusahaan yang mampu beradaptasi secara dinamis dengan perubahan kebijakan makro—melalui inovasi dalam distribusi, promosi, segmentasi ulang pasar, serta relokasi sumber daya produksi—akan memiliki keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Fenomena ini secara langsung memperkaya khazanah teori Strategic Market Orientation, yakni kemampuan perusahaan untuk membaca sinyal pasar, merespons secara fleksibel, dan mengintegrasikan strategi lintas fungsi dalam kondisi tekanan tinggi (Jaworski & Kohli, 1993).
Dengan demikian, tensi dagang ini tidak hanya menjadi isu ekonomi-politik, tetapi juga menjadi laboratorium nyata bagi pengembangan strategi pemasaran adaptif. Merek yang mampu memanfaatkan momentum ini untuk membangun narasi yang kuat, relevan secara lokal namun tetap konsisten secara global, berpeluang besar untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga tumbuh di tengah ketidakpastian.
Relokasi Produksi dan Reposisi Pasar
Perusahaan-perusahaan global seperti Apple, Tesla, dan Lenovo saat ini mempercepat relokasi basis produksinya dari Tiongkok menuju kawasan Asia Tenggara dan India. Langkah ini merupakan respons terhadap meningkatnya ketidakpastian geopolitik dan kebijakan proteksionis yang diberlakukan oleh Amerika Serikat sejak awal 2025, termasuk tarif impor sebesar 25 persen terhadap sejumlah produk strategis. Strategi ini, dikenal luas sebagai pendekatan “China+1”, mendorong perusahaan multinasional untuk tidak lagi bergantung sepenuhnya pada Tiongkok sebagai pusat manufaktur, melainkan mulai membagi operasionalnya ke negara-negara seperti Vietnam, Thailand, dan India.
Menurut Reshoring Initiative Report tahun 2025, lebih dari 2.100 perusahaan asal Amerika dan mitra globalnya tengah melakukan diversifikasi rantai pasok secara aktif. Proses ini bukan hanya digerakkan oleh kekhawatiran terhadap tarif tinggi, tetapi juga oleh risiko gangguan logistik dan ketegangan politik yang dapat menghambat stabilitas operasi jangka panjang. Kawasan Asia Tenggara dan anak benua India menjadi target utama relokasi karena kombinasi biaya tenaga kerja yang kompetitif, dukungan kebijakan pemerintah, serta infrastruktur logistik yang semakin berkembang.
Namun, relokasi ini membawa implikasi yang jauh lebih luas daripada sekadar perubahan jalur distribusi atau efisiensi biaya produksi. Dalam konteks strategi pemasaran, perubahan lokasi produksi menantang merek untuk membingkai ulang narasi yang telah terbangun selama bertahun-tahun. Di mata konsumen, negara asal produk masih memainkan peran penting dalam membentuk persepsi terhadap kualitas, keaslian, dan eksklusivitas sebuah merek. Studi yang diterbitkan oleh Harvard Business Review pada tahun 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 56 persen konsumen di negara-negara maju masih menjadikan label “Made in” sebagai tolok ukur utama dalam menilai mutu produk.
Pertanyaannya kemudian, apakah konsumen akan tetap percaya pada kualitas produk yang kini dibuat di lokasi baru? Bagaimana merek menjelaskan relokasi ini tanpa menimbulkan kesan penurunan kualitas atau sekadar penghematan biaya? Di sinilah strategi komunikasi memainkan peran sentral. Banyak merek kini merancang ulang narasi mereka dengan mengedepankan transparansi dan nilai keberlanjutan. Frasa seperti “produced closer to you” atau “relocalizing for resilience” mulai muncul dalam kampanye komunikasi sebagai bentuk adaptasi terhadap relokasi, sekaligus menjawab kekhawatiran publik.
Relokasi ini juga turut mendorong terjadinya reposisi pasar. Dengan operasional yang lebih dekat ke kawasan Asia, banyak merek kini melihat potensi pertumbuhan baru di pasar ASEAN dan Asia Selatan. Berdasarkan proyeksi dari McKinsey Global Institute (2024), kawasan ASEAN diperkirakan akan memiliki lebih dari 350 juta konsumen kelas menengah pada tahun 2030, menjadikannya target pasar yang sangat menarik, khususnya untuk produk teknologi konsumen, pakaian, dan otomotif. Hal ini menuntut adaptasi dalam strategi pemasaran yang tidak hanya mencakup segmentasi ulang, tetapi juga perubahan pendekatan komunikasi yang lebih lokal dan personal.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


