Oleh:. Assist Prof. Mochammad Farisi, LL.M –
Beberapa waktu lalu, publik dunia dikejutkan oleh peristiwa tragis di Brasil. Sebuah operasi besar-besaran kepolisian di Rio de Janeiro menewaskan lebih dari 100 orang yang diduga terlibat jaringan narkotika. Pemerintah Brasil mengklaim bahwa operasi tersebut merupakan bagian dari perang melawan kartel atau terorisme narkotika yang menguasai wilayah permukiman padat. Namun, berbagai organisasi hak asasi manusia menilai tindakan itu sebagai pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killings) yang brutal dan tidak proporsional.
BACA JUGA:Harga BBM Se Indonesia Naik Lagi, Ini Daftar Harga Baru BBM di SPBU Per 1 November 2025
Kecaman datang dari berbagai organisasi internasional. Komisi HAM Inter-Amerika (IACHR) menyebut tindakan aparat Brasil berpotensi sebagai pelanggaran hak untuk hidup (right to life). Amnesty International bahkan menuduh negara melakukan “war on the poor” – perang terhadap orang miskin – dengan dalih perang terhadap narkotika. Fenomena ini mengingatkan dunia pada kebijakan serupa di Filipina beberapa tahun lalu, di mana ribuan orang tewas dalam operasi anti-narkoba.
BACA JUGA:TOK! Harga BBM Seluruh Provinsi Jambi Naik, Ini Daftar Harga Baru BBM di SPBU 1 November 2025
Kita semua sepakat, bahwa narkotika memang kejahatan serius (extraordinary crime). Ia merusak sendi sosial, ekonomi, bahkan keamanan negara. Namun, dalam kacamata hukum internasional, penanganannya tidak bisa dilakukan dengan cara-cara yang melanggar hak asasi manusia.
BACA JUGA:Kafilah FASI Merangin Pasang Target Masuk Tiga Besar
Tragedi di Brasil mengangkat kembali pertanyaan mendasar: sampai di mana negara boleh bertindak tegas dalam pemberantasan narkotika tanpa menyalahi hukum internasional dan hak asasi manusia?
Kewajiban Negara dalam Konvensi Anti Narkotika
Brasil, seperti hampir semua negara di dunia, adalah pihak dari tiga konvensi utama PBB tentang pengendalian narkotika, yakni Single Convention on Narcotic Drugs 1961 (amandemen 1972), Convention on Psychotropic Substances 1971, dan United Nations Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988. Ketiganya membentuk kerangka hukum internasional yang tegas: negara wajib menindak perdagangan gelap, memerangi jaringan lintas negara, dan mencegah penyalahgunaan narkotika.
BACA JUGA:Breaking News..Anggota DPRD Sungai Penuh Fahrudin Ditetapkan Tersangka
Dalam Pasal 4 Konvensi 1961, negara-negara diminta untuk membatasi produksi, distribusi, dan penggunaan narkotika hanya untuk tujuan medis dan ilmiah. Pasal 36 menegaskan kewajiban negara mengkriminalkan peredaran gelap, sementara Pasal 3 Konvensi 1988 mewajibkan hukuman pidana bagi pelaku perdagangan lintas batas, pencucian uang, dan pendanaan aktivitas ilegal terkait narkotika.