Demo Itu Hak Konstitusi, Tapi Jangan Anarki

Sabtu 30-08-2025,07:39 WIB
Editor : Bakar

sedangkan UU No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Pasal 1 angka 1: “Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

BACA JUGA:Unjuk Rasa di DPRD Jambi Ricuh, 5 Polisi Terluka

Jelas, negara memberi karpet merah bagi rakyat untuk mengkritik. Tetapi karpet merah itu hanya berlaku bila demo dilakukan secara damai, bukan dengan kekerasan. Artinya, demonstrasi itu sah, legal, bahkan dilindungi hukum. Tetapi, ada catatan penting: kebebasan berpendapat bukanlah kebebasan tanpa batas.

 

Kebebasan berpendapat tidak boleh merampas hak orang lain, merusak ketertiban umum, atau menebar kebencian. Demo boleh, tapi tidak boleh merusak lampu merah, membakar mobil, atau melempar polisi dengan batu. Itu bukan aspirasi, itu aksi kriminal.

 

Metode Kritik: Tidak Harus Turun ke Jalan

 

Mengkritik pemerintah bukan hanya bisa lewat unjuk rasa. Ada banyak metode lain yang sah dan bermartabat: menulis opini di media kompas/tempo/blog, dll, membuat surat terbuka, 

 

mengekspresikan lewat seni, misalnya: film Sexy Killers 2019 & Dirty Vote, melalui musik seperti Iwan Fals, Slank & Sukatani, membuat karikatur/graffiti/lukisan seperti lukisan karya Suprapto berjudul Konoha, Lukisan Tikus Garuda karya Rokhayat, menggelar mimbar bebas seperti Wiji Thukul / stand up comedy Padji/Abdur/Mamat Alkatiri, 

 

melakukan audiensi tatap muka atau forum diskusi, berdialog di televisi, hingga memanfaatkan media sosial lewat podcast, postingan, atau meme. Turun ke jalan memang sah, tetapi mestinya jadi pilihan terakhir ketika ruang-ruang aspirasi lain tertutup.

 

Bagaimana Etika Mengkritik?

 

Kategori :